Dua Sisi Kehidupan
Dua sisi mata uang, mungkin selalu menjadi perumpamaan yang paling tepat untuk menjelaskan keadaan sesuatu dengan adil.
Ini masih seputar harta karun (tumben bu, tekun nian memanjangkan bahasan, biasax kutu loncat, he...). Pasalnya, terakhir cek si "Little Dragon", keadaannya sungguh memprihatinkan. Benar-benar lusuh, mulai kabur dan banyak sobekan. Dan sebelum ia dibumihanguskan oleh waktu, ada beberapa rekaman tinta yang perlu diselamatkan. Kutitipkan ia di sini, liris theme.
Aku terhenyak begitu melihat barang yang disodorkan adik. Oleh-oleh pulang kampung yang begitu mendebarkan. Sebuah diari dan beberapa buku tulis usang yang nyaris tak kukenali. Jika begini, memoriku kerap menyambar perkataan Nasli, suatu hari di kelas IPA, dengan nada sarkastis.
"Kamu tuh ya, gak pernah jelas catatanmu pada kemana...." Hanya bisa kubalas dengan cengengesan.
Dikerjap-kerjapkannya matanya. Ia kembali merebahkan tubuh di atas kasur yang baru dirapikannya beberapa menit lalu. Out of the schedule ! Harusnya sekarang waktu untuk mengucek-ucek pakaian kotor yang direndam berbaskom-baskom! Efek kemarau panjang dan sekarang pipa kran rusak, setelah musim penghujan datang, tatraa...tarrakadabraaa..., tiba-tiba saja cucian menumpuk, memenuhi keranjang, lalu menyesaki mesin cuci yang sudah hitungan bulan menjalani cuti.
Di saat, tak ada kesedihan untuk ditangisi.
Tak ada bahagia yang patut dibagi.
Tak ada rindu yang patut dikabarkan.
Tak ada.
Selain hati yang terbata mengenali rasa.
Berupa-rupa, berbaur, tak jelas arah.
Kau nadir, seketika.
Aku terlempar, terlempar jauh. Bagai sauh, dibuang nelayan, jauh dari buritan, ke tengah-tengah lautan. Mengumpankan diri, diantara bahaya dan ancaman badai. Sepi, di tempat yang hanya berkawan desir ombak. Susul-menyusul, tiada henti, mendawamkan sunyi.
Pernahkah kamu berpikir, kamu akan bertanya seperti ini:
Siapa aku? Mengapa aku ada di dunia ini? Apakah dunia tidak akan lengkap tanpa kehadiranku? Mengapa aku harus berada di dunia ini? Mengapa aku tidak menjadi bagian dari bayi-bayi tak berdosa yang mati muda? Mengapa aku merasakan sakit dan cemas, rindu dan harap, benci dan sayang?
Rumahku, aku datang....
Membawa segala cerita
Bersama airmata yang ingin kutumpahkan
Atau senyuman yang ingin kusebarkan
Di sini, biarlah dulu seluruh warna bermuara
...
Rumahku, aku agak lama tak pulang
Banyak kisah terlewatkan
Berdesakan ingin dituliskan
Hati pun telah biru, di belakangnya berbaris pula rupa-rupa rasa
Sampai linglung aku, yang mana patut kudahulukan
Apa dulu yang baiknya kucatatkan
...
Rumahku, kau masih tempat yang paling nyaman
Teduh bersahabat bagi hati yang bagai pelangi
Tunggulah, kuhantarkan pelbagai cerita bermacam nuansa
...
^__^
Watampone, 24 November 2015
Kau pendosa. Kau penimbun dosa. Berapa usiamu sekarang? Ah, setinggi itu pula dosa yang kau kumpulkan, diantara sedikit kebaikan. Kau pendosa. Terimalah tuahmu sekarang.
Malam. Seperti biasa, engkau selalu diam. Seolah cukup bagimu sekadar menyaksikan..., kelelahan anak manusia, yang mencari ketenangan dalam hening dan gelapmu.
Malam. Dimana pun kau terasa sama. Sunyi yang kau bawa, sesekali menikam. Begitu juga dengan kehangatan yang kau titipkan, kala senja mulai meluruhkan bias panas mentari, dan hati bermain dalam mimpi-mimpi.
Siang.
siang yang panas.
bara serasa merata di seantero Indonesia
kering.
Musim penghujan, seharusnya sudah mulai
tapi di sini, di mana-mana, hujan debu yang ada,
hujan asap di beberapa kota
Tuhan, apakah azab yang tengah menimpa...?
#bukan puisi
#efek panas dan rindungeblog
#entardiedit
#nulisdaritab
siang yang panas.
bara serasa merata di seantero Indonesia
kering.
Musim penghujan, seharusnya sudah mulai
tapi di sini, di mana-mana, hujan debu yang ada,
hujan asap di beberapa kota
Tuhan, apakah azab yang tengah menimpa...?
#bukan puisi
#efek panas dan rindungeblog
#entardiedit
#nulisdaritab
Kini, aku di sini.
Di kota pertama ku eja aksara hidayah
Tempat membuncah asa
Remaja yang nanar menatap binar-binar cahaya
Kini, aku di sini
Masih terbata menyusun harapan yang berjuta
Tersadar bahwa semangat itu tak lagi sama
Kehilangan euforia yang lama
Tapi ada mimpi yang lebih indah untuk dibuat nyata
Di kota ini,
kota yang nyaris tak dirindui
Kenangannya mulai lapuk, bersama asa yang terganti
Tapi, masih...
masih tersisa jejak-jejak yang akan membawa kembali
Tentang hati, yang tak berhenti mencari
Watampone, 081015
Hari itu, aku lupa apa awal perbincangan kami di telepon hingga melebar pada topik yang tak biasa. Sesuatu yang masih dianggap terlalu remeh sebagai bahan obrolan bagi kultur kami, atau sesuatu yang 'tak perlu dibahas', meski banyak masalah berakar darinya.
Aku dan adik, tak terbiasa untuk berbicara dari hati ke hati, dengan siapapun dalam keluarga. Kami lebih sering saling merespon apa yang tampak di permukaan. Maka kusebut sharing ringan dengan topik mendalam itu sebagai 'berbicara dari otak ke otak'. Huaaa.... itu istilah apa...?! Meski terdengar aneh, tapi hampir sepenuhnya benar, karena kami berbicara dengan latar belakang ilmu yang kami miliki. Psikologi.
Berkisahlah tentang apa saja
Pagi, senja, hujan, matahari...
Rindu jemari menuliskan dan mata menemukan kata
....
Barangkali, yang membuat hidup ini seringkali terasa sempit dan sesak adalah karena kita lebih menitikberatkan titik pandang di satu sisi. Kegagalan, kesulitan, keinginan yang belum tercapai. Segala yang berada dalam dimensi yang tak menyenangkan. Gelap dan menyesakkan, anehnya kita lebih sering menatap ke sana, bahkan mendiaminya. Lalu terbiasa berkutat dengannya, sesekali menyumpahinya.
Hidup ini sudah cukup menyibukkan, dan semakin tak bersahabat dengan hujan penyesalan, makian dan ratapan. Mungkin selama ini kita lebih banyak menuntut, dan lupa pada kewajiban. Lupa untuk bersyukur.
Apa yang patut disyukuri, sementara begitu banyak asa yang tak kunjung tergapai, kegagalan tak bisa dihitung lagi...? Ah, bahkan menulis dan membaca tulisan ini pun satu anugerah yang patut disyukuri. Banyak selain kita, yang tak bisa melihat aksara atau sekadar titik cahaya, sejak awal mengenal dunia. Itu mungkin sudah cukup untuk membungkam lisan-lisan pengeluh.
Kehidupan ini saja, nikmat hidup dan kesempatan untuk bertumbuh, mengenal dunia dengan segala dinamikanya, mengenal rasa dengan segala romantikanya, adalah anugerah yang besarnya tak terkata. Sayangnya, saking besarnya, dan karena hampir seluruh manusia merasakannya, jarang yang menilainya sebagai anugerah lalu merasa tak perlu lagi untuk bersyukur atasnya.
Apakah , ada sesuatu yang terjadi
di kehidupan ini, tanpa seizinNya?
Apakah ada, sedikit saja, yang
menimpa hambaNya, baik yang kufur maupun yang beriman, yang tidak
dikehendakiNya?
Adakah…?
50 ribu tahun, sebelum segala
sesuatu diciptakan, telah lengkap tercatat seluruhnya apa saja yang akan
terjadi dan bagaimana itu terjadi. Apakah belum kau ketahui, ataukah imanmu
yang belum sampai?
Pena, ialah makhluk pertama yang
tercipta, telah sempurna menunaikan titah Sang Pemilik Kehidupan. Hari ini
tintanya telah mengering, bahkan sebelum engkau ada. Dan tak akan terhapus dari
lembaran di Lauh Mahfuzh, tiap-tiap ketetapanNya yang telah terekam di sana. Tak
ada yang bisa merubah takdirNya.
Aku baru saja keluar dari apotik saat menyadari bahwa ada seorang bocah lelaki duduk mengaso di sudut pagar, di atas tanah dan bertelanjang kaki. Sambil terus berjalan aku mengamatinya sejenak. Sesekali ia menoleh ke arah jalanan. Seperti menunggu seseorang. Sebuah karung plastik berada di sisi kirinya. Barangkali anak ini pemulung dan karung itu tempat menampung plastik bekas. Aku menoleh beberapa kali, ingin menemukan ekspresi yang mungkin memelas atau bahkan menadahkan tangan meminta sekadar uang.
Ragu berkelebat di benakku, apakah harus memberinya lembaran atau kepingan uang. Tidak. Tidak kutemukan ekspresi meminta dikasihani itu dari wajahnya. Andai aku membawa makanan atau minuman, mungkin segera kuangsurkan padanya. Ah, anak ini bukan pengemis, jangan sampai sikap yang tak tepat malah mendukungnya berjiwa pengemis.
Mimpi di siang bolong, bukan pameo, tapi ini benar sering kualami. Seperti siang tadi, sebuah mimpi menemani tidurku yang singkat. Durasinya kurang dari satu jam.
Ada ibu di sana. Berdiri di samping saat kubuka sebuah buku lagu, tengah mencoba menyenandungkan tembang lawas. Sayang, iramanya belum tepat. Ibu dengan sigap, dengan suara yang masih merdu, menyanyikannya tanpa melirik teks. Aku lantas terdiam, menyimak nada-nada yang mengalun dari mulutnya, sembari menekuri kata demi kata setiap baris syair. Sebagaimana dahulu. Kebiasaanku bersama ibu saat hanya tinggal berdua dalam masa yang lama. Masa kecilku.
Bukankah engkau hanya seorang hamba...? Mengapa kehidupanmu terlihat begitu berat? Ya, demikian engkau menafsirkannya, bukan? Apa yang salah, apakah kesalahan itu ada pada setiap takdir-Nya, seperti yang kerap kali kau duga? Setiap takdir yang seolah tak berpihak padamu....
Engkau hanya seorang hamba. Telah sampaikah akal dan hatimu pada penyadaran ini? Sebuah pengakuan selalu meminta pembuktian..., telah kau buktikankah?
Wahai..., dikau seorang hamba, pikirkanlah ini, bahwa tugasmu adalah mematuhi seluruh kehendak Sang Penguasa. Bukannya menanyakan tentang ini dan itu perihal ketetapan-Nya. Tak peduli apa yang berlaku atasmu, apakah anugerah atau musibah yang sedang menimpamu, kau hanya diharuskan..., berjalan mengikuti koridor keridhaan-Nya.
Hidup penuh liku yang tak mampu diterka
Kemarin..., adalah masa lalu yang menjadi kenangan
Hidup penuh deru, mengeras, mengganas....
Menata ketegaran jiwa yang lemah
Berputar dan berbalik arah
Menciptakan dimensi yang berbeda
Hidup penuh liku
Meninggalkan jejak lama, menggaris alur tak sama
Elegi terbalur sepi, terpendam
Menjemput suratan-Nya
Dia, sebut saja Ra. Seorang teman yang berasal dari bagian selatan kabupaten. Dialeknya sedikit tak biasa bagi orang kota. Meskipun masih dalam wilayah yang sama, setiap distrik desa memiliki gaya verbal yang berupa-rupa. Satu dengan yang lainnya tak jarang saling mencela. Orang kota merasa lebih keren logatnya. Tapi begitu ke pelosok desa, penduduknya tak mau kalah, bahkan sampai punya olok-olokan khas buat menyindir gaya bicara orang kota yang dianggap lebay luar biasa. Ah, aku hanya bisa tertawa. Menertawakan logat kota jika tersesat di desa-desa. Menertawakan logat desa saat terkucil di belantara kota.
Aku suka pelajaran bahasa Indonesia, suka menulis dan senang jika mendapat tugas menulis. Tapi, begitu tiba pada pelajaran mengarang dengan alat-alatnya seperti menentukan tema, topik, plus kerangka yang harus dikembangkan, membuat tugas mengarang terlihat sulit bagiku. Mungkin tujuannya untuk mempermudah proses penulisan, tetap saja, bagiku malah mempersempit gerak dalam menulis *ngeles mode on ^^
Hari itu, biasa saja, aku tengah menemani kakak ke rumah sepupu. Beberapa hari ini ia sibuk sekali menyiapkan keberangkatannya ke Seoul, ya negeri ginseng itu, buat short-couse kuliah S2-nya di universitas Yonsei (bener gak ini?). Nah, ini dia mau pinjam motor buat hunting barang dan perlengkapan. Duh, kuliah S2 bisa mahal sangat dan bergaya begitu ya... its just my feeling. Tiketnya meroket gara-gara rupiah anjlok, hitung-hitungan budget-nya setara dengan ongkos sekali umrah, kalo aku sih mending pergi umrah ya...hehehe.
Hari itu memang biasa, seperti hari-hari lainnya yang panas menjelang siang di kota Daeng. Kami mengobrol biasa dengan kakak sepupu, sebut saja kak Na.
"Ih pada ke luar negeri. Kamu jangan mau kalah dong. Nanti ke mana kek..."
Kak Na mulai memprovokasi. Dari tiga bersaudara hanya aku yang paling cinta Indonesia, hehe maksudnya gak pernah ke luar negeri. Jangan bicara luar negeri, aku bahkan tak pernah keluar dari Sulawesi Selatan ^_^. Ehm, kakakku sebetulnya baru kali ini juga mau nginjak tanah orang. Adikku sendiri lanjut kuliah di Inggris. Dan aku....
"Kamu ntar kuliah juga ke... Mesir tuh.."
Kak Na masih semangat mengompori. Egypt. Hm... aku teringat sewaktu SMA dulu. Saat tentor di tempat kursus bahasa Inggris menanyai kami satu per satu, negeri apa yang paling ingin kami kunjungi.
"Why...?" tanya kakak tentor. Nah sampai di sini aku lupa apa omongan Inggris-nya waktu itu ya. OMG! aku lupa hingga rumus-rumus dasarnya. Tak bersisa! Tapi aku masih ingat alasannya apa, karena yang kutahu tempat menimba ilmu agama yang paling keren di luar negeri waktu itu, ya Al-Azhar di Kairo. Aku tahunya dari sebuah majalah remaja Islami. Padahal ternyata yang paling keren tuh...
"Nggak, nanti aku bakal ke Madinah, sekalian umrah, hehehe.."
"Iya, umrah bareng ayah sama ibunya sekalian saja tuh...."
"Aamiin..."
Hingga entah apa benang merahnya, tiba-tiba kak Na melemparkan tanya,
"Dik S ini kenapa pake cadar segala sih...?"
adalah niscaya bagi pertanda bahwa kehidupan ini masih berjalan
ia hanyalah satu dari sepasang
dengan bahagia, ia berdampingan
menjejaki hari, serupa langkah yang saling bergantian.
Tidakkah kau lihat isyarat itu...?
Bahwa Ia sungguh mencintaimu. Maka didatangkannya berbagai sebab dan alasan, agar kau pun semakin mendekat kepadaNya.
Di sini, jeda antara aku, kemarin, dan hari esok. Kita namai ia kenangan, kenyataan dan impian. Beberapa detik yang lalu, bahkan telah tersimpan, tersegel sebagai ingatan. Dan dadaku berdebar untuk sebuah impian, membuncah harapan, agar segera ia menjadi kenyataan. Perlahan-lahan, hingga dapat kupastikan.
Di sini, di saat berbaga-bagai rasa, berupa-rupa keinginan berbaur rata. Hampir tak bisa kupilah, sedih, haru, semangat, rindu, berpadu-padu. Dan aku bungkam dalam ketenangan yang menyihirku dalam lantunan kalam-kalam suci.
Rabb...
biarkan aku berlari
menujuMu di tempat yang sunyi
di tanah yang tak mengenal angkara
dimana jiwa dahaga mereguk air dari telaga-telaga
Di sini sepi kawan...,
tak mengapa, asal kita masih dalam iman
Kusaksikan, matahari Timur perlahan tenggelam
ah semoga, aku menutup mata saat ia bertukar matahari Barat
terlalu mengerikan sekadar menyadarinya, kawan....
Di sini sunyi kawan...,
tak mengapa, asal iman masih dalam pelukan
#Jiwa yang tertawan
-------------------------
Engkau yang terpenjara oleh kenangan,
apakah kau mengira bahwa manisnya ingatan akan memberimu kepastian di masa depan?
Kuhampiri penghujung malam yang semakin diam
Mengajak alam hening dalam buaian
Tapi malam masih menyisakan satu cerita untuk kubaca
Kubawa cintaku berlari menujuMu, dengan hati perih
Kutemui belukar, kutemui duri
yang menghambatku menuju cintaMu
Lalu kutemui cintaku di jalanMu, dengan hati rindu
Manusia adalah misteri....
Bagi dirinya sendiri tatkala tak mampu lagi
menafsirkan dirinya yang lain, yang terasing
Tak mampu menerjemahkan egonya yang menjelma
dalam kebingungan dan kebimbangan
Tak mampu mengartikan laku yang tak dikenalinya,
dirinya dalam rupa yang lain.
(Beberapa bulan yang lalu...)
Jadi, setelah sadar jika ada yang salah, aku lalu berusaha menenangkan diri agar bisa berpikir jernih. Ya Rabb..., aku juga kena? Akhirnya aku kena juga...?!
Rasanya masih sulit percaya, mmm.... tepatnya, masih tak ingin percaya. Tapi, sekalipun aku memejamkan mata, atau memelototi dengan seksama layar segiempat itu lagi, kenyataan tak akan berubah. Ya sudah, reviu materi iman lagi, tentang iman kepada takdir, pasnya... iman pada takdir buruk. Tema-tema seputar sabar, lapang dada, ikhlas menerima seluruh keputusan-Nya, berharap pahala dan ganti yang lebih baik dari musibah yang menimpa, peringatan bahwa musibah apapun masih terhitung ringan selama tidak menyangkut agama..., melingkar di benakku, silih berganti memberi petuah, saling sikut dengan perasaan syok luar biasa, lemas dan kecewa.
Rasanya ingin kukabarkan pada dunia:
kesedihanku hari ini, bahagiaku detik ini, tawa dan tangisku menit ini.
Rasanya ingin kukabarkan pada dunia:
betapa aku ingin dimengerti, betapa aku ingin terlihat dan dipuji, dan tak sudi kudengar maki.
Kau hanya tak tahu, berapa lapis karat yang menutupi hatimu, hingga Ia harus membasuhnya berkali-kali, dengan ujian... sakit... kesedihan... kehilangan... Agar ia bersih, agar bisa suci, dan engkau layak menemui-Nya tanpa membawa dosa lagi....
Ingatan ini kudapati di kotak memori belasan tahun silam. Di tahun-tahun awal berhijrah, saat hijab masih ala kadarnya, saat semangat sedang hangat-hangatnya, dan saat ilmu masih cetek-ceteknya (^___^).
Menangislah sekeras-kerasnya, tapi itu tak kan mengubah apa-apa, tak juga mampu kembalikan segala yang telah diambil-Nya
***
Ingin kulabuhkan seluruh rasa ini
ke tepian telaga penawar duka-Mu
biar tumpah-ruah hingga tak berbentuk, tak bernama
berbaur-baur amuk amarah dan damai jiwa
benci dan rindu menjadi satu
Ingin aku berlari dari cengkeraman atau kebebasan
yang merampas ketenangan dan sisa harapan
Aku ingin pergi, pergi jauh meninggalkan semua ini
seluruh kepenatan, riuh dan perih
Ingin kutinggalkan gaduh dan tawa
menujuMu di tempat yang tak mengenal sia-sia
di tanah mana aku lupa akan hasrat dunia
Rabb-ku....
pisahkan saja aku dari ramai dunia
yang meminta tumbal atas nama rasa dan cinta
....
Tapi kini seolah tak berjejak, tak terekam... riuh di sudut-sudut rumah, teriakan bersahutan, canda-tawa dan sesekali tangisan di sana....
Roda waktu seolah berputar terlalu cepat, tak terasa untuk sekadar menyadari perubahan dan kehilangan, ia menggilas rata seluruh duka dan bahagia dalam satu masa, menamainya dengan kenangan....
Hari itu, tak biasanya, saat aku menjemput salah seorang santri, sebut saja Nuri.
"Lewat jalan sini saja ustadzah..." tukas Nuri saat aku hendak berbalik ke arah sekolah, lewat jalan umum. Rupanya ada jalur pintas yang lebih dekat. Nuri pun dengan sigap memberiku instruksi, arah mana saja rute yang akan dilalui. Setelah melewati beberapa belokan kanan-kiri, sepeda motor ku pun meluncur mulus di jalan beraspal yang lumayan lurus. Dan disana lah kutemukan ia, lelaki tua itu. Pandanganku menangkap tubuhnya seorang diri di tepi jalan, bersimpuh di atas tanah, menghampar sejumlah kecil sayuran di hadapannya. Ia menatapku juga, tiba-tiba hatiku pilu. Ia akan melihat pada siapapun yang lewat di depan jualan kecilya. Seperti aku, yang saat itu hanya berlalu.
"Ah, bukankah aku sedang buru-buru," batinku. "Lagipula, mana aku tahu ada pedagang sayuran kecil di situ," kilahku.
Sejak itu bayangannya masih mengusikku. Kali pertama kulihat ia, tapi aku hampir saja menangis di buatnya. Tak bisa kulupakan, bayangan tubuhnya yang ringkih dan bergetar. Ya, tubuh kurus dan tua itu, dibalut helai pakaian yang lusuh pula, bergetar seolah menggigil. Seperti orang yang demam atau kedinginan. Mungkin juga karena tubuh tuanya di dera lelah termakan usia.
"Kemana sanak-saudaranya? Tak ada seorang pun kah dari kerabatnya yang bisa membantu menopang hidupnya, hingga tubuh tua yang bergetar itu terdampar di tepi jalan...?!" tak tahu pada siapa, kuajukan tanya dan gugatan.
"Mungkin sebaiknya, lain kali aku membeli sedikit dagangannya," dalam hati aku berjanji.
Hari kedua aku menjemput Nuri, dan aku masih butuh bantuan petunjuk anak itu, menembus lorong-lorong sempit yang tak bisa segera kukenali. Kali ini aku tahu, akan melewati jalan dimana lelaki tua itu berjualan. Ia masih di sana, di hadapan hamparan dagangan sayur yang tak seberapa. Masih dengan tubuh tuanya yang bergetar. Dan aku berlalu, lagi. Kusesalkan diriku yang tak bisa segera mengambil keputusan untuk sejenak berhenti. Dijepit antara keinginan segera tiba di sekolah, dan sedikit insting motif ekonomis yang menanyakan, "mengapa seolah tak ada yang membeli", atau "mengapa hanya sedikit yang ia jual"... Pikiranku masih berdiskusi, dan bayangannya telah mengabur di belakangku.
"Argh... tidak, lain kali aku harus membeli dagangannya, tak peduli apa yang ia jual, tak peduli pembeli tak ramai," Kali ini aku tegas berjanji. Gemas pada diri.
Lelaki tua itu, entah bagaimana kabarnya kini. Entah, apakah jualan sayurnya yang beberapa biji ada yang membeli? Telah lama aku tak melewati jalan itu lagi, sejak aku berjanji. Aku tak lagi menjemput Nuri yang menunjukkan jalan tempatnya berada. Dan aku masih menyesali, mengapa tak membeli, sekadar dua-tiga buah dagangannya.
Lelaki tua itu, seorang diri berjualan sayur di tepi jalan yang pernah kulalui. Jalan yang tak ramai, sebab letaknya di lorong sebuah perumahan yang kecil. Tak banyak dilewati. Dan aku masih dibayang-bayangi, tubuhnya yang ringkih dan bergetar. Pilu.
Rain... again... again....
Lagi, dan saya tak kan pernah bosan. Tak habis-habisnya tenggelam. Kali ini bukan dalam lamunan, tapi rasanya masih sama. Selalu demikian, terhenyak menekuri irama hujan. Ialah simfoni alam yang teramat syahdu, selalu memikatku untuk diam.
Semilir angin, udara yang dingin, tetes berirama ringan berjatuhan dari langit. Hm... serasa damai, sesekali rindu turut memanggil, padanya... rangkaian irama hujan yang mengalun lembut dan menggetarkan, mengirim salam dari masa-masa yang telah kutinggalkan.
"Allahumma shayyiban naafi'an...."
#pecintahujan
Bukan, kapan kematian akan datang...?
Bukan, berapa hari lagi yang tersisa untukku...?
Bukan, bagaimana nafas terakhirku berhembus...?
Tapi, apakah aku telah cukup siap menghadapinya...?
Apakah telah cukup bekal untuk menjalani kehidupan berikutnya...?
Layakkah aku... berakhir dengan husnul khatimah...?
Sejauh apapun kaki melangkah
ia tetap rindu kembali memijak
di kampung halaman
Dan kampung halaman manusia yang pertama adalah surga
maka hatinya selalu terpaut dengannya
dan selalu memanggil, kembali ke sana
Sedang hati yang lalai akan dibuat lupa,
atau sengaja lupa
hingga mendapati langkahnya tersesat jauh,
hingga berujung di dasar neraka
Lalu, yang tertinggal:
hanya sesal yang bertambah
(Makassar, 20.05.2014)
Ada ruang kosong di sini, tak ada yang bisa menempatinya
Ada ruang sunyi di sini, tak ada yang bisa meramaikannya
Ada lubang tak kasat mata, dalamnya tak terkira, tak ada yang bisa menutupnya
Ada celah yang selalu memanggil duka, tak ada yang bisa menjahitnya
....
Ialah hati yang kosong dari nama-Nya
Ialah hati yang sunyi dari menyebut-Nya
Ialah hati yang rakus pada dunia dan terlupa
Ialah hati yang terlunta di belantara hasrat-hasrat fana
Ialah hati yang meninggalkan pagi dan petang hari tanpa berdzikir pada-Nya
....
Pernahkah engkau... terjebak di titik nol. Saat benakmu dipenuhi stigma, kau tak ada apa-apanya... kau bukan orang yang penting... kau tak membuat siapapun kehilangan dengan ketiadaanmu... sebaiknya kau tak ada di sini... kau....
Apa yang kau dapatkan, saat lidahmu mengunyah makian dan celaan. Apa yang kau dapatkan, saat diam-diam atau terang-terangan membicarakan kesalahan juga kekurangan seseorang. Apa yang kau rasakan, saat kutukan mengalir deras dari mulutmu, karena seseorang melakukan atau mengabaikan sesuatu...?
Bukan kedamaian, tapi justru kegelisahan, kerap kali berujung penyesalan saat kau mulai menyadari. Tak bisakah kau diam saja, atau melakukan yang lebih baik dari itu....
Hari itu, aku dan beberapa teman dan sebagian warga desa, mengangkut pasir dari sungai yang jaraknya ratusan meter. Ada warga yang sedang membangun rumah. Seperti umumnya warga lain, mereka akan mengupah siapapun yang mau mengangkut pasir dari sungai. Di desa kami, pasir melimpah di bantaran sungai. Tinggal membawa wadah seperti ember, mengeruk pasir di tepian atau jika perlu menyelam sambil menggaruk pasir di dasar sungai. Tak perlu khawatir bakal tenggelam, anak-anak desa bahkan yang lebih kecil dariku biasanya pandai berenang, kecuali aku :( Kabar baiknya, aku justru lebih bisa menyelam daripada berenang. Tapi sungai yang kami tuju pun rata-rata masih dangkal, jadi cukup aman.
Hari ini telah berakhir, siang tenggelam, malam menjelang, catatan merekam sepanjang nafas kehidupan.
Tak ada lagi yang bisa diubah, telah membekas dan terpatri, tersimpan dalam ingatan, segala yang telah terjadi dan dilakukan. Kemudian, meskipun disudahi, barangkali penyesalan membuat kesalahan nyaris abadi. Sekedar dalam ingatan, atau mutlak di catatan.
Hari ini telah usai, malam yang sepi menandai. Saat mata terpejam, terbuai lelap, entah apa yang tertulis di sana. Pada lembar-lembar yang berjudul sebuah nama, untuk tiap-tiap yang dianggap berakal, dari yang memiliki nama. Di antara deru kekhilafan yang berujung penyesalan, dan kebajikan yang berbuah kesyukuran.
Dan di penghujung malam, aku semakin menyadari, ada banyak kekeliruan yang patut disesali. Menyesal, tapi tak cukup. Mengeja istighfar, berharap ampunan dan petunjuk. Pasrah, mengembalikan segala yang tak bisa di kemudi, berharap kedamaian dengan penyerahan, lalu penerimaan.