Berawal dari Fahira, yang meminta kali ini belajar di
rumah Muthma. Hanif mengiyakan, katanya masa’ cuma kelas satu dan dua yang
keluar hari ini. Baiklah, aku rasa tak masalah selama mereka mengikuti aturan
main. Aku pun memberi tantangan, mereka menentukan sendiri target hapalan
selama di sana dan baru boleh kembali ke sekolah jika telah menyetor sesuai
target. Mereka serempak mengiyakan. Satu persatu kuminta menulis di papan
target masing-masing. Fahira dan Iwan termasuk yang memiliki target terbanyak,
Hanif mencoba realistis dan masih sempat menawar untuk mengurangi target
awalnya. Tapi kutolak karena aku yakin dia bisa, dia yang paling cepat
menghafal selain Isti. Target Muthma dan Nadia serta Siva aku yang tentukan,
dan mereka bisa menerima. Aku lalu meminta seseorang menyalinnya di kertas, dan Siva menawarkan diri. Tapi dia tak menemukan pulpen. Saat aku berseru bahwa aku
membawa pulpen, dia sudah keburu ngelayap mencari ke kelas lain. Selang
kemudian kembali dengan tangan kosong. Sambil tersenyum geli aku menyodorinya
benda yang dia cari-cari.
Santriku memutuskan menghafal di luar rumah, sebagian
di teras, sebagian di halaman belakang yang teduh. Saat melihat mereka duduk
membentuk lingkaran, aku curiga mereka akan lebih terdorong ngobrol tak jelas
ketimbang menghafal. Tapi aku tak mau terlalu mengekang mereka dengan perintah
dan aturan yang lebih tegas hari ini. Terserah bagaimana yang penting mereka
bisa mencapai target. Aku lalu berseru menjanjikan dua bintang hafalan untuk
orang tercepat yang menyetor sesuai target. Mereka mulai menunjukkan gelagat
lebih serius. Terutama Hanif.
Hanif tercepat pertama. Disusul Nadia yang agak
memaksakan diri dengan menyicil per ayat. Selang kemudian Fahira mengajukan diri
yang kedua kalinya setelah kandas di kesempatan pertama. Sepertinya anak itu
agak sulit menghafal. Hanif dan Nadia bertukar senyum ke arah Fahira.
Sepertinya ada yang aneh, tapi entah apa. Tak ada yang mau berterus terang.
Mengaku tak ada apa-apa. Tapi insting detektifku tak bisa dikibuli. Fahira mulai
menyetor, awal yang baik, dia cukup lancar menghafalnya. Tapi tunggu dulu, selancar
itu? Hm…ada yang aneh. Mataku segera mencari dimana keanehan itu, lalu
mendapatinya di balik jendela saat menoleh ke kanan. Al qur’an besar terpampang
jelas dari balik kaca, tepat di halaman yang sedang dia hafal. Aku begitu
kecewa, tak menyangka dia akan sejauh itu.
Dengan suara datar aku menyatakan diskualifikasi pada Fahira, sanksinya dia menjadi yang terakhir menyetor. Fahira mulai gusar,
menuding Nadia sebagai pencetus ide, lalu Muthma dan Hanif sebagai tim sukses
eh pendukungnya. Aku memandang tak percaya pada Nadia. Tapi rasa kesal itu
lebih menguat pada Fahira. Ia malah mulai ngambek, seperti biasa. Aku jadi tak
habis pikir. Kenapa anak itu, sekalipun ditegur karena kesalahan sendiri yang
sudah jelas, selalu saja seperti merasa punya hak untuk marah.
“Kalau melanggar, merasa bersalah sendiri ya, bukannya
menyalahkan orang lain…” ujarku datar seolah menujukannya pada semua santri.
Dengan suara yang cukup jelas untuk di dengar oleh Fahira yang sudah menyelinap
ke kamar. Pelanggaran kedua.
Salat jamaah santriku hari ini sedikit berantakan.
Hanif yang mendapat giliran imam, langsung takbiratul ihram tanpa tedeng
aling-aling. Yang lain protes. Tapi karena Hanif tak bergeming, aku menegur
yang lain agar segera mengikuti dengan tertib. Di bagian ini Siva yang paling
berulah. Fahira masih di teras belakang. Tak ada pertanda dia bakal ikut
berjamaah. Sudahlah, lebih baik aku mengabaikannya dulu saat ini.
Seusai shalat dhuhur, aku memanggil satu per satu para
tersangka. Dimulai dari Nadia, Muthma lalu Fahira. Aku berusaha agar mereka
menyadari dan mau mengakui kesalahan. Nadia yang paling mudah diarahkan sesuai
harapan. Muthma sedikit berkelit, seperti yang kutebak, ia berusaha
mengkambinghitamkan yang lain. Tapi aku menegaskan tentang kesalahannya
sendiri, bukannya berbicara tentang kesalahan temannya. Ia pun mengaku. Masih
ada dinding tipis diantara kami. Terakhir Fahira. Lebih banyak waktu yang
kubutuhkan untuk membuka hati dan…mulutnya. Anak itu sedikit beda. Kerap
menceracau tanpa suara jika tampak tersudut. Yang kumaksud, dia membuka mulut
seolah mengucapkan sesuatu, tapi tak mengeluarkan suara sedikitpun. Aku belum
tahu benar, apakah itu model pembangkangan atau bentuk perasaan tak berdayanya.
Dia mengakui kesalahannya, tapi tak ada jalan untuk berlama-lama berbicara dari
hati ke hati. Dia masih menutup hatinya, mungkin merasa terancam. Sepertinya
akan lebih buruk jika menahannya lebih lama. Masih ada dinding tebal diantara
kami.