Bocah Pemulung

By Ummu Thufail - September 24, 2015



Aku baru saja keluar dari apotik saat menyadari bahwa ada seorang bocah lelaki duduk mengaso di sudut pagar, di atas tanah dan bertelanjang kaki. Sambil terus berjalan aku mengamatinya sejenak. Sesekali ia menoleh ke arah jalanan. Seperti menunggu seseorang. Sebuah karung plastik berada di sisi kirinya. Barangkali anak ini pemulung dan karung itu tempat menampung plastik bekas. Aku menoleh beberapa kali, ingin menemukan ekspresi yang mungkin memelas atau bahkan menadahkan tangan meminta sekadar uang. 

Ragu berkelebat di benakku, apakah harus memberinya lembaran atau kepingan uang. Tidak. Tidak kutemukan ekspresi meminta dikasihani itu dari wajahnya. Andai aku membawa makanan atau minuman, mungkin segera kuangsurkan padanya. Ah, anak ini bukan pengemis, jangan sampai sikap yang tak tepat malah mendukungnya berjiwa pengemis. 


Aku berlalu dengan sepeda motorku, sembari bergumam di hati, "... tak ada makan enak untuk berbuka nanti wahai diri, malulah pada bocah yang bahkan tak beralas kaki itu, kau pun tak memberinya apa-apa, buang saja keinginanmu untuk beli es teler atau ayam bakar seperti tadi...."

Ah, anak itu..., apakah ia kelelahan atau kehausan? Bahkan mungkin kelaparan? Elegi merayapi hati. Kupenuhi janji untuk lebih sederhana hari ini. Separuh porsi brownis yang ditinggalkan kakak sebelum mudik tadi rasanya sudah cukup. Tinggal menanak nasi. Masih ada seekor ikan di kulkas. Sekantung kecil tomat dan cabe di dapur. 

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar