Dialog Dua Kepala

By Ummu Thufail - September 27, 2015



Hari itu, aku lupa apa awal perbincangan kami di telepon hingga melebar pada topik yang tak biasa. Sesuatu yang masih dianggap terlalu remeh sebagai bahan obrolan bagi kultur kami, atau sesuatu yang 'tak perlu dibahas', meski banyak masalah berakar darinya. 

Aku dan adik, tak terbiasa untuk berbicara dari hati ke hati, dengan siapapun dalam keluarga. Kami lebih sering saling merespon apa yang tampak di permukaan. Maka kusebut sharing ringan dengan topik mendalam itu sebagai 'berbicara dari otak ke otak'. Huaaa.... itu istilah apa...?! Meski terdengar aneh, tapi hampir sepenuhnya benar, karena kami berbicara dengan latar belakang ilmu yang kami miliki. Psikologi.


Aku, yang karena nasib dan usia, lebih dulu terjun di bangku kuliah dengan konsentrasi psikologi murni (bilang saja jurusan psikologi...!), kadang-kadang merasa tertinggal beberapa langkah dari adikku sendiri (ehm, yang benar... sering!). Dia masih di sekolah menengah, saat tertarik pada topik-topik yang ada di handbook-ku. Kadang bertanya, yang mungkin lebih mirip dengan mengajak diskusi. Kutanggapi dengan acuh, sambil ngomong dalam hati, "apaan sih...," "aku belom baca yang itu kali...." Mungkin beneran kepincut sama dunia psikologi, atau karena stres dengan dunia kimia dengan laboratorium dan laporannya, ia tiba-tiba banting stir seusai sekolah. Ayah hanya bisa terpana menyaksikannya menyimpang dari jalur yang seharusnya. Seharusnya ia mengambil peluang kerja sesuai bidang yang memang sudah bagus prospeknya, atau kalo ambil kuliah yang sama jurusannya. 

Nah lho prolognya jadi panjang dan juga menyimpang yak. Baiklah back to theme..., entah kenapa, eh sudah ngomong ini tadi ya he-he..., obrolan kami berikutnya menyinggung soal parenting dan kawan-kawannya. Sok tua ya, padahal belum pada berumah tangga. Sharing itu pun berubah lebih mirip arena curhat. Kami saling self report, menganalisis diri masing-masing meski nggak sampai pake alat tes segala. 

"Aku dulu suka cemas..., di pikiranku harus bisa dapat rangking, akhirnya suka minder, bla..., bla...,"

"Nah aku, dulu kan ibu rada protektif, kayaknya gara-gara itu suka di-bully sama teman, kan ibu agak keras tuh kalo di sekolah, jadi..., bla..., bla...."

"Ya, kasi tahu tuh kakak, jangan suka ngebentak sama anak-anaknya, bisa-bisa dia...., bla...."

"Kayaknya, ayah tuh korban pola asuh yang nggak benar juga dulunya. Kalo denger ceritanya sih, kakek juga rada keras.... Jadi berefek sama pola asuhnya juga sama anaknya, bla...."

Kesimpulannya, kami sepakat, bahwa ada beberapa hal yang tak beres mengenai pola asuh dalam keluarga kami. Bukan hal yang baru, mungkin hampir semua keluarga mengalami, dengan dinamika yang berbeda-beda, dengan tingkat keparahan yang tak sama. Aku pun seolah digiring untuk menyepakati, bahwa sekarang bukan lagi soal bagaimana memperbaiki apa yang terlanjur rusak, tapi bagaimana mencegah efek dominonya, sesuatu yang lebih mudah untuk diperbaiki.

Mencari kambing hitam...? Mungkin tak akan berhenti pada satu orang, tapi penemuan akan hal itu bisa terus bergulir ke belakang hingga nenek buyut sekalian. Hehe. Anak-anak hari ini mungkin produk pola asuh yang buruk orang tuanya, dan orang tua hari ini sangat mungkin juga menerima pola asuh yang tidak ideal sebelumnya, yang sebelumnya pun demikian. Waktu yang panjang membuat pola menjadi paten, alih-alih merekonstruksi bangunan tua, mari bangun konstruksi baru yang pekerjaannya lebih mudah. Nah, begitu kira-kira pesannya.

Perbincangan 'dari otak ke otak' ini seperti membuka mataku lebih lebar. Aku menjadi lebih jeli menemukan benang merah linimasa dari masa kecil hingga kini. Kita hari ini, itu termasuk diriku, adalah rangkaian pengalaman hidup dari sekian tahun sebelumnya. Ketidakberesan di hari ini, mungkin isyarat ada hal-hal yang belum beres pula di masa-masa sebelumnya.  

AHA! Meskipun dialog ini tak sampai menghasilkan konsensus macam apalah itu, di titik ini ingin kuberucap syukur saja pada Yang Kuasa. Bisa menyadari diri sendiri dengan seabrek potensi benar-salahnya adalah satu anugerah tersendiri. 

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar