Ngapain sih Pake Cadar?

By Ummu Thufail - September 06, 2015



Hari itu, biasa saja, aku tengah menemani kakak ke rumah sepupu. Beberapa hari ini ia sibuk sekali menyiapkan keberangkatannya ke Seoul, ya negeri ginseng itu, buat short-couse kuliah S2-nya di universitas Yonsei (bener gak ini?). Nah, ini dia mau pinjam motor buat hunting barang dan perlengkapan. Duh, kuliah S2 bisa mahal sangat dan bergaya begitu ya... its just my feeling. Tiketnya meroket gara-gara rupiah anjlok, hitung-hitungan budget-nya setara dengan ongkos sekali umrah, kalo aku sih mending pergi umrah ya...hehehe.

Hari itu memang biasa, seperti hari-hari lainnya yang panas menjelang siang di kota Daeng. Kami mengobrol biasa dengan kakak sepupu, sebut saja kak Na. 

"Ih pada ke luar negeri. Kamu jangan mau kalah dong. Nanti ke mana kek..."

Kak Na mulai memprovokasi. Dari tiga bersaudara hanya aku yang paling cinta Indonesia, hehe maksudnya gak pernah ke luar negeri. Jangan bicara luar negeri, aku bahkan tak pernah keluar dari Sulawesi Selatan ^_^. Ehm, kakakku sebetulnya baru kali ini juga mau nginjak tanah orang. Adikku sendiri lanjut kuliah di Inggris. Dan aku....

"Kamu ntar kuliah juga ke... Mesir tuh.."

Kak Na masih semangat mengompori. Egypt. Hm... aku teringat sewaktu SMA dulu. Saat tentor di tempat kursus bahasa Inggris menanyai kami satu per satu, negeri apa yang paling ingin kami kunjungi.

"Why...?" tanya kakak tentor. Nah sampai di sini aku lupa apa omongan Inggris-nya waktu itu ya. OMG! aku lupa hingga rumus-rumus dasarnya. Tak bersisa! Tapi aku masih ingat alasannya apa, karena yang kutahu tempat menimba ilmu agama yang paling keren di luar negeri waktu itu, ya Al-Azhar di Kairo. Aku tahunya dari sebuah majalah remaja Islami. Padahal ternyata yang paling keren tuh...

"Nggak, nanti aku bakal ke Madinah, sekalian umrah, hehehe.."

"Iya, umrah bareng ayah sama ibunya sekalian saja tuh...."

"Aamiin..."

Hingga entah apa benang merahnya, tiba-tiba kak Na melemparkan tanya,

"Dik S ini kenapa pake cadar segala sih...?"
Tadinya sih mau pasang tampang kaget, tapi kok rasanya nggak nyambung ya sama situasinya, hanya bisa syok dalam hati. Perasaan tiap ke sini aku memang pake cadar, ini sudah hitungan tahun, kok herannya baru sekarang....? aku membatin bingung.

Oh iya aku baru ingat, sebelumnya obrolan kami sempat nyerempet-nyerempet dengan kerabat yang lain, yang hanya mengenakan jilbab besar tanpa cadar. Nah, seolah kak Na tuh mau nanya, aku ikut aliran apa hingga mengenakan cadar? 

Hanya bisa kujawab ringan,

"Dulu aku mutusin pake cadar itu cuma gara-gara pernah baca kalau isteri-isteri Rasulullah itu menutup wajah juga. Aku hanya meniru mereka. Kan mereka wanita yang paling beriman."

"Gak ada tuh istilah disuruh sama guru ngaji atau siapa. Aku sendiri yang mau."

Hm... terasa ya aroma egoismenya. Meski kukatakan dengan santai dan seperti canda. Entahlah, iman ini rasanya lebih berharga dari emas permata. Apa yang kuyakini benar dan jelas asalnya, tak kurelakan siapapun mengobok-oboknya. Orang boleh berkata, bertanya, menggugat atau semacamnya. Tapi hatiku akan sekeras karang yang bertahan. Semoga selamanya.

Duh jadi syahdu begini yak, baiklah masih di topik yang tadi, ngapain sih aku pake cadar? Sudah jelas tadi jawabannya. Jujur, aku bahkan tak melengkapi dalil tentang cadar, penjelasan rinci hingga khilaf ulama di dalamnya. Aku hanya perlu tahu bahwa itu dikenakan oleh wanita-wanita paling mulia dalam dien ini, bahwa itu tak dikhususkan bagi mereka saja seperti larangan menikahi yang hanya berlaku bagi mereka sepeninggal Rasulullah, bahwa mengenakannya lebih utama ketimbang tidak mengenakannya. Aku pun merasa mantap memakainya meski sempat ada kegalauan di tengah prosesnya, tapi galau itu segera sirna begitu aku mengingat alasan pertama mengapa aku bercadar.

Sedikit beresiko sih, mengamalkan sebuah keutamaan sebelum cukup ilmunya. Aku yang tak tahu bahwa pilihan bercadar sebaiknya ditunda dulu jika orangtua masih menentang, sempat diboikot oleh ayah. Tapi di lain sisi, aku mensyukuri ketidaktahuanku itu (eh), karena sumber penentangan itu pun sebenarnya bukan murni dari diri ayah, hanya lebih pada kekhawatirannya akan anggapan dan pandangan orang-orang nanti terhadapku. Sesuatu yang kuabaikan jika urusannya sudah menyangkut iman. Alhamdulillah, meski beberapa kerabat masih melirik atau bertanya heran, ayah dan ibu tak lagi mempermasalahkannya. Boikot yang kusebut tadi pun, hanya berlaku setengah hari. Singkat sekali bukan? ^__^. Berakhir tanpa kuduga menjelang waktu berbuka di Ramadhan silam. Saat aku justru baru mengumpulkan amunisi bernama kekuatan iman dan hati, bersiap menerima serangan-serangan berikutnya. Mungkin karena aku sudah semangat 45 untuk berjuang hingga titik darah penghabisan, aku menang tanpa perlawanan. Eh nggak juga ya, aku tak berniat untuk bersikap frontal dan melawan, hanya akan bertahan apapun yang akan terjadi padaku. Allahul musta'an....

So, ngapain sih pake cadar....? Barangkali jika pertanyaan itu masih berulang, jawabanku masih sama, sederhana saja. Tak perlu bagiku untuk menyiapkan sejumlah dalil dan rinciannya yang rumit. Sekalipun hujjah yang kuat tetap diperlukan sebagai pijakan. Mungkin akan kusiapkan itu jika pertanyaannya lebih lebar dan menyangkut hukum cadar bagi muslimah secara umum. Tapi jika tanya itu diajukan pada diriku sebagai pribadi, aku tak kan memperpanjang argumentasi. Aku hanya ingin meniru para ummahatul mukminin, wanita-wanita yang paling baik agamanya sepanjang sejarah.




  • Share:

You Might Also Like

0 komentar