Tuhan. Tetap waraskanlah diriku, meski ujian dunia sesekali terasa lebih berat dari kesanggupanku. 15 tahun lalu, waktu yang lama bagi diri yang lemah ini. Sejak itu aku serasa bukan manusia, merasa diri seperti alien, bersikap tak selayaknya umumnya manusia, tak sebebas dan seekspresif orang lain.

Tuhan, Engkau menyaksikan, bagaimana diri ini berusaha mengumpulkan kekuatan, menguatkan hati, dari hari ke hari, menghadapi dunia ini. Dan, dikala rasanya situasi makin berat, hampir melewati ambang batas, aku hanya bisa berpasrah. Apapun yang telah Engkau izinkan terjadi, maka tak ada dayaku untuk menghindari. 

Tuhan, rasanya aku ingin mengangkat bendera putih dan berkata, "aku tak sanggup lagi..."

Tuhanku. Apapun takdirku, kuatkanlah hamba, beri akhir kehidupan yang baik bagiku. 

Aamiin, aamiin.... 

Rabbi... 

Mengapa hati ini, masih kerap diliputi kesedihan manusiawi, masih banyak memiliki harapan-harapan duniawi, yang akhirnya melukai... 

Rabbi... 

Ingin rasanya kembali, memiliki hati yang dulu, yang tak berharap lagi pada dunia, yang tak ada hasrat di dunia selain pengampunan, selain kesempatan membersihkan diri dari dosa-dosa... 

Rabbi... 

Aku marah, sedih, kecewa... Pada setiap amarah, sedih dan kekecewaan karena dunia. Dimana hatiku yang dulu telah pasrah, hati yang telah melepas dunia dengan tipuannya... 

Rabbi... 

Aku rindu, ingin kembali, pada hati yang tetap merasa sejuk di tengah himpitan kesulitan, di saat tujuan dan harapan hanya tertuju pada-Mu, ketika impian hanya semata meraih ridha-Mu... 

Rabbi... 

Ampuni hambaMu, jika dosa-dosalah penyebab gelisah ini... 

Rabbighfirlii... 

Rabbighfirlii... 

Hai, 

Rumah hati yang berdebu dan jarang kujumpai. 

Tidakkah kau merasa kehilangan? Sepertiku. Ada yang hikang dari hatiku, entah apa. Hanya saja aku tak merasa seperti biasa. Perasaanku sering hampa. Ada yang kosong dan tak ada yang mengisinya. 

Hai, rumah hati yang berdebu. 

Aku bukan tak punya cerita, bukan tak sudi bicara. Terlalu banyak yang ingin kuutarakan, lalu akhirnya lidahku kelu, tak tahu mengatakan apa, mulai dari mana? 

Seringkali banyak hal menyesaki dada, hingga aku tak lagi sanggup berkata. Kebingungan mengungkap kata demi mengurai kusutnya segala rasa. 

Hai, aku tak tahu hendak berkata apa

Hai aku Yana. Kisahku nyata. Bukan kisah luar biasa, hanya saja tentu tak sama dengan kisah-kisah lain. Masing-masing kita punya cerita sendiri. 

Seperti kisah miris seorang ibu dan anak-anaknya yang viral belakangan ini. Atau kisah-kisah serupa sebelumnya. Aku jadi tertarik menyelami temanya, tentang innerchild yang belum selesai pada tubuh seorang dewasa. Tentang luka pengasuhan yang tak pernah dibasuh, diobati, sehingga tak pernah sembuh. Semua itu terpendam, terbenam di alam bawah sadar, hingga sewaktu-waktu dimuntahkan secara spontan. 

Aku tak tertarik mengetahui kisah utuh si ibu tadi, terlalu tragis, aku tak sanggup mengetahui betapa dalam kesedihan dan kepedihan di sana. Ya jelas ada yang salah, ada yang berlawanan dengan hukum. Tapi di luar itu, si innerchild yang menggerogoti tubuh dewasa tadi seharusnya yang perlu segera ditangani. 

Maka aku akan mengatakan sebagian, tentang innerchild yang belum usai pada diriku. Aku berjanji akan membagikannya, untuk menemukan jalan berdamai. 

Hai hati yang dulu

Rasanya ingin kuputar waktu

Kembali, dan memilikimu

Saat itu... 

Tak ada banyak keinginan di sana

Ketika hati

Tak lagi berharap bahagia di dunia

Tak lagi menginginkan dunia terlalu jauh

Ketika itu, hati ini mulai bersiap menyambut kematian

Sebab tak ada lagi yang menjadi harapan

Selain mendapat ampunan

Terbebas dari dosa dan tanggungan

Lalu menemui Rabb Pemilik bahagia di keabadian