Dua Sisi Kehidupan
Dua sisi mata uang, mungkin selalu menjadi perumpamaan yang paling tepat untuk menjelaskan keadaan sesuatu dengan adil.
Ini masih seputar harta karun (tumben bu, tekun nian memanjangkan bahasan, biasax kutu loncat, he...). Pasalnya, terakhir cek si "Little Dragon", keadaannya sungguh memprihatinkan. Benar-benar lusuh, mulai kabur dan banyak sobekan. Dan sebelum ia dibumihanguskan oleh waktu, ada beberapa rekaman tinta yang perlu diselamatkan. Kutitipkan ia di sini, liris theme.
Aku terhenyak begitu melihat barang yang disodorkan adik. Oleh-oleh pulang kampung yang begitu mendebarkan. Sebuah diari dan beberapa buku tulis usang yang nyaris tak kukenali. Jika begini, memoriku kerap menyambar perkataan Nasli, suatu hari di kelas IPA, dengan nada sarkastis.
"Kamu tuh ya, gak pernah jelas catatanmu pada kemana...." Hanya bisa kubalas dengan cengengesan.
Dikerjap-kerjapkannya matanya. Ia kembali merebahkan tubuh di atas kasur yang baru dirapikannya beberapa menit lalu. Out of the schedule ! Harusnya sekarang waktu untuk mengucek-ucek pakaian kotor yang direndam berbaskom-baskom! Efek kemarau panjang dan sekarang pipa kran rusak, setelah musim penghujan datang, tatraa...tarrakadabraaa..., tiba-tiba saja cucian menumpuk, memenuhi keranjang, lalu menyesaki mesin cuci yang sudah hitungan bulan menjalani cuti.
Di saat, tak ada kesedihan untuk ditangisi.
Tak ada bahagia yang patut dibagi.
Tak ada rindu yang patut dikabarkan.
Tak ada.
Selain hati yang terbata mengenali rasa.
Berupa-rupa, berbaur, tak jelas arah.
Kau nadir, seketika.
Aku terlempar, terlempar jauh. Bagai sauh, dibuang nelayan, jauh dari buritan, ke tengah-tengah lautan. Mengumpankan diri, diantara bahaya dan ancaman badai. Sepi, di tempat yang hanya berkawan desir ombak. Susul-menyusul, tiada henti, mendawamkan sunyi.