ibu

Mimpi Siang Bolong

By Ummu Thufail - September 22, 2015




Mimpi di siang bolong, bukan pameo, tapi ini benar sering kualami. Seperti siang tadi, sebuah mimpi menemani tidurku yang singkat. Durasinya kurang dari satu jam. 

Ada ibu di sana. Berdiri di samping saat kubuka sebuah buku lagu, tengah mencoba menyenandungkan tembang lawas. Sayang, iramanya belum tepat. Ibu dengan sigap, dengan suara yang masih merdu, menyanyikannya tanpa melirik teks. Aku lantas terdiam, menyimak nada-nada yang mengalun dari mulutnya, sembari menekuri kata demi kata setiap baris syair. Sebagaimana dahulu. Kebiasaanku bersama ibu saat hanya tinggal berdua dalam masa yang lama. Masa kecilku.


Apakah aku tengah merindukannya? Saat-saat dimana kami mencoba membunuh sepi dengan beragam cara yang kami ketahui. Salah satunya lewat cara ini. Aku akan membuka sebuah buku berukuran folio, menunjuk teks lagu yang ingin kudengar, dan ibu berubah menjadi semacam playlist untuk hampir semua lagu nasional yang ada didalamnya. Ibu akan menjelaskan apa arti tempo de marcia dan kawan-kawannya, serta bagaimana memandu lagu dengan berbagai tingkatan irama hingga nada 4/4 yang menurutku paling mudah. Jika ingin mendengar tembang lawas yang syahdu itu, aku akan menyiapkan balpoin dan lembaran selembar kertas, menyimak dengan awas, lalu menyalin syair demi syair. Ibu harus menyanyikannya dengan pelan, sesekali mengulang agar tulisanku benar. 

Ibu bukanlah guru musik atau penyanyi. Beliau hanya seorang guru kelas yang pandai menyanyi dan senang mengajarkan lagu-lagu nasional kepada murid-muridnya. Hingga bapak wali kelas yang mengajar di sebelah, kerap melentingkan sinismenya. " Bernyanyi, lagi...."

Anehnya, tak seorang pun dari anak-anaknya yang memiliki bakat yang sama. Mungkin itu patut disyukuri, meski dulu kerap sakit hati jika di-bully kakak kala mencoba bernyanyi. Jika tidak, barangkali aku pun akan menjadi penyanyi. Setiap kali ada lagu yang baru rilis dan terdengar manis, aku selalu ingin mendendangkannya. Suaraku yang sering serak tiba-tiba, membuatku putus asa.

****

Ibu, segala kenangan tentangnya terasa begitu hangat, seperti seruputan teh manis di pagi yang damai. Hadirnya selalu menenangkan. Mungkin aku bisa kehilangan siapa saja, tanpa merasa kehilangan, tapi tidak dengannya.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar