Lelaki Tua di Sudut Kota

By Ummu Thufail - Juni 15, 2015




Hari itu, tak biasanya, saat aku menjemput salah seorang santri, sebut saja Nuri. 
"Lewat jalan sini saja ustadzah..." tukas Nuri saat aku hendak berbalik ke arah sekolah, lewat jalan umum. Rupanya ada jalur pintas yang lebih dekat. Nuri pun dengan sigap memberiku instruksi, arah mana saja rute yang akan dilalui. Setelah melewati beberapa belokan kanan-kiri, sepeda motor ku pun meluncur mulus di jalan beraspal yang lumayan lurus. Dan disana lah kutemukan ia, lelaki tua itu. Pandanganku menangkap tubuhnya seorang diri di tepi jalan, bersimpuh di atas tanah, menghampar sejumlah kecil sayuran di hadapannya. Ia menatapku juga, tiba-tiba hatiku pilu. Ia akan melihat pada siapapun yang lewat di depan jualan kecilya. Seperti aku, yang saat itu hanya berlalu. 

"Ah, bukankah aku sedang buru-buru," batinku. "Lagipula, mana aku tahu ada pedagang sayuran kecil di situ," kilahku.

Sejak itu bayangannya masih mengusikku. Kali pertama kulihat ia, tapi aku hampir saja menangis di buatnya. Tak bisa kulupakan, bayangan tubuhnya yang ringkih dan bergetar. Ya, tubuh kurus dan tua itu, dibalut helai pakaian yang lusuh pula, bergetar seolah menggigil. Seperti orang yang demam atau kedinginan. Mungkin juga karena tubuh tuanya di dera lelah termakan usia. 

"Kemana sanak-saudaranya? Tak ada seorang pun kah dari kerabatnya yang bisa membantu menopang hidupnya, hingga tubuh tua yang bergetar itu terdampar di tepi jalan...?!" tak tahu pada siapa, kuajukan tanya dan gugatan.

"Mungkin sebaiknya, lain kali aku membeli sedikit dagangannya," dalam hati aku berjanji.

Hari kedua aku menjemput Nuri, dan aku masih butuh bantuan petunjuk anak itu, menembus lorong-lorong sempit yang tak bisa segera kukenali. Kali ini aku tahu, akan melewati jalan dimana lelaki tua itu berjualan. Ia masih di sana, di hadapan hamparan dagangan sayur yang tak seberapa. Masih dengan tubuh tuanya yang bergetar. Dan aku berlalu, lagi. Kusesalkan diriku yang tak bisa segera mengambil keputusan untuk sejenak berhenti. Dijepit antara keinginan segera tiba di sekolah, dan sedikit insting motif ekonomis yang menanyakan, "mengapa seolah tak ada yang membeli", atau "mengapa hanya sedikit yang ia jual"... Pikiranku masih berdiskusi, dan bayangannya telah mengabur di belakangku.

"Argh... tidak, lain kali aku harus membeli dagangannya, tak peduli apa yang ia jual, tak peduli pembeli tak ramai," Kali ini aku tegas berjanji. Gemas pada diri.

Lelaki tua itu, entah bagaimana kabarnya kini. Entah, apakah jualan sayurnya yang beberapa biji ada yang membeli? Telah lama aku tak melewati jalan itu lagi, sejak aku berjanji. Aku tak lagi menjemput Nuri yang menunjukkan jalan tempatnya berada. Dan aku masih menyesali, mengapa tak membeli, sekadar dua-tiga buah dagangannya. 

Lelaki tua itu, seorang diri berjualan sayur di tepi jalan yang pernah kulalui. Jalan yang tak ramai, sebab letaknya di lorong sebuah perumahan yang kecil. Tak banyak dilewati. Dan aku masih dibayang-bayangi, tubuhnya yang ringkih dan bergetar. Pilu.




  • Share:

You Might Also Like

0 komentar