Series of Shafwan (1)

By Ummu Thufail - Maret 28, 2014



Dia tertawa paling keras, saat tertawa bersama teman-teman barunya, atau saat berhasil menjahili salah seorang dari mereka. Paling ribut. Mungkin juga karena dia paling besar dan merasa ada kesempatan bagus untuk mengerjai para kurcaci itu.

Ujung tatapku sesekali berusaha menekannya agar tak meneruskan ulahnya. Aku masih sibuk mengurusi santri yang harus didampingi muraj'ah hafalan. Persiapan untuk audisi  Hafidz Qur'an besok. Inginnya semua berjalan lancar, tapi pengganggu-pengganggu kecil ini cukup mengalihkan perhatian.

Belum selesai menemani Meli muraja'ah juz 30, aku memutuskan beralih ke Syafa yang tiba-tiba nyelonong masuk kamar dengan wajah kusut. 

"Syafa gak mau menghafal, ustadzah..." Muthi menyusul di belakangnya.

"Kenapa nak...?"

Syafa masih suntuk, menelungkupkan wajahnya ke sandaran kursi.

"Dia gak mau soalnya disuruh murajaah lengkap semuanya," tukas Muthi.

"Lho kan cuma sambung ayat, jadi gak usah semua."

"Tapi ustadzah Phia nyuruh dia hafal semua"

Raut wajahnya semakin tak bersahabat. Syafa berpindah ke kasur dan merebahkan badan di sana dengan putus asa. Tak lama kemudian terdengar isak tangisnya. Hm....ini bukan Syafa yang biasanya. Santri paling ceria, cuek dan mencuri hati para pengajar dengan karakter uniknya yang lucu.

***

Kucari isak tangis yang lain. Suara yang sangat kukenal, tapi entah dimana. Terdengar dari jarak dekat. dengan ragu kutarik daun pintu kamar. Lalu menemukan tubuh besarnya yang terduduk di balik pintu. Menelungkupkan wajah sembari memeluk lututnya. Aku tak percaya dengan penglihatanku. Apa yang terjadi dengannya?

"Lho, kok ikutan nangis juga. Kenapa nak? Sakit...?" tapi aku yakin itu bukan tangis kesakitan. 

"Lapar...?" dia memang belum makan, tapi tidak mungkin dia menangis karena kelaparan, seperti bayi. Paling merengek atau berbisik meminta makan.

Meski masih ragu dan belum tahu pasti apa penyebab tangisannya, kucoba mencari celah dengan berusaha menetralkan situasi lebih dulu.

"Ayo kita makan, lapar kan..?"

Dia mulai mengangkat wajahnya, terlihat sedikit bulir air mata di sana. Meski tak sekencang tangisan Meli atau segelisah Syafa, aku tahu, yang ia rasakan lebih dalam dari mereka. Seperti perasaan sedih, tapi entah karena apa. Aku belum menemukan jawabannya.

"Ayo, kita makan dulu ya...."

Senangnya, dia merespon dengan segera bangkit dari duduknya. Tapi hatiku mengatakan tidak, aku harus tahu kenapa dia menangis. Kutuntun dia ke dekat jendela kamar. Berharap anak ini mau membuka hati. Si usil ini lebih suka memendam gelegak emosinya.

(cont.)


  • Share:

You Might Also Like

0 komentar