Telah
kutemui kebencian yang memuncak, kesedihan mendalam, kegelisahan
terus-menerus, kecemasan yang nyaris tak henti menghantui….
Telah kurasakan gelapnya keputusasaan, juga bara amarah yang tak ingin padam. Semua itu semakin menghimpit jiwa yang kian kerdil dengannya, menutup jalan-jalan yang bisa membebaskanku keluar darinya, hingga pada titik paling jenuh, titik nol yang tak berarti apa-apa lagi...yang tertinggal tak ubahnya jasad tanpa ruh.
Telah kurasakan gelapnya keputusasaan, juga bara amarah yang tak ingin padam. Semua itu semakin menghimpit jiwa yang kian kerdil dengannya, menutup jalan-jalan yang bisa membebaskanku keluar darinya, hingga pada titik paling jenuh, titik nol yang tak berarti apa-apa lagi...yang tertinggal tak ubahnya jasad tanpa ruh.
Melelahkan.
Saat
kutunjukkan perlawanan atas keadaan
yang terasa buruk, yang ada hanyalah segalanya
semakin memburuk. Aku menolak keadaanku, berarti
aku
menolak takdirNya yang tak kusukai yang tetap berlaku atasku....?!
Saat kumelawan arus, arus itu semakin deras seolah ingin menghanyutkan lalu menenggelamkanku.
Hingga
dibawaNya aku pada sebuah kesadaran, agar:
Menyerah saja!
Bukan menyerah dengan membiarkan semua terjadi tanpa ikhtiar yang benar, tapi...
Menyerah...menyerahkan
diri padaNya, menerima takdirNya yang tak dikehendakiNya berubah. Menjalani
apapun yang telah digariskanNya dengan
keridhaan sebagai seorang hamba yang sejatinya harus tunduk pada seluruh
ketentuanNya tanpa pengecualian.
Hingga...saat sabar mulai memberi salam, mengenalkan diri dan mengiringi langkah-langkah dan pengaduan.
Hingga...keridhaan
mulai merasuk dalam dada,
panas
musibah pelan menurunkan
suhunya.
Kerelaan,
keikhlasan menjalani skenarioNya,adalah AC bagi jiwa.
Biidznillah.
(111010)
0 komentar