Mendung di Kelas Kami

By Ummu Thufail - Desember 31, 2013




Berawal dari Fahira, yang meminta kali ini belajar di rumah Muthma. Hanif mengiyakan, katanya masa’ cuma kelas satu dan dua yang keluar hari ini. Baiklah, aku rasa tak masalah selama mereka mengikuti aturan main. Aku pun memberi tantangan, mereka menentukan sendiri target hapalan selama di sana dan baru boleh kembali ke sekolah jika telah menyetor sesuai target. Mereka serempak mengiyakan. Satu persatu kuminta menulis di papan target masing-masing. Fahira dan Iwan termasuk yang memiliki target terbanyak, Hanif mencoba realistis dan masih sempat menawar untuk mengurangi target awalnya. Tapi kutolak karena aku yakin dia bisa, dia yang paling cepat menghafal selain Isti. Target Muthma dan Nadia serta Siva aku yang tentukan, dan mereka bisa menerima. Aku lalu meminta seseorang menyalinnya di kertas, dan Siva menawarkan diri. Tapi dia tak menemukan pulpen. Saat aku berseru bahwa aku membawa pulpen, dia sudah keburu ngelayap mencari ke kelas lain. Selang kemudian kembali dengan tangan kosong. Sambil tersenyum geli aku menyodorinya benda yang dia cari-cari.
Santriku memutuskan menghafal di luar rumah, sebagian di teras, sebagian di halaman belakang yang teduh. Saat melihat mereka duduk membentuk lingkaran, aku curiga mereka akan lebih terdorong ngobrol tak jelas ketimbang menghafal. Tapi aku tak mau terlalu mengekang mereka dengan perintah dan aturan yang lebih tegas hari ini. Terserah bagaimana yang penting mereka bisa mencapai target. Aku lalu berseru menjanjikan dua bintang hafalan untuk orang tercepat yang menyetor sesuai target. Mereka mulai menunjukkan gelagat lebih serius. Terutama Hanif.
Hanif tercepat pertama. Disusul Nadia yang agak memaksakan diri dengan menyicil per ayat. Selang kemudian Fahira mengajukan diri yang kedua kalinya setelah kandas di kesempatan pertama. Sepertinya anak itu agak sulit menghafal. Hanif dan Nadia bertukar senyum ke arah Fahira. Sepertinya ada yang aneh, tapi entah apa. Tak ada yang mau berterus terang. Mengaku tak ada apa-apa. Tapi insting detektifku tak bisa dikibuli. Fahira mulai menyetor, awal yang baik, dia cukup lancar menghafalnya. Tapi tunggu dulu, selancar itu? Hm…ada yang aneh. Mataku segera mencari dimana keanehan itu, lalu mendapatinya di balik jendela saat menoleh ke kanan. Al qur’an besar terpampang jelas dari balik kaca, tepat di halaman yang sedang dia hafal. Aku begitu kecewa, tak menyangka dia akan sejauh itu.
Dengan suara datar aku menyatakan diskualifikasi pada Fahira, sanksinya dia menjadi yang terakhir menyetor. Fahira mulai gusar, menuding Nadia sebagai pencetus ide, lalu Muthma dan Hanif sebagai tim sukses eh pendukungnya. Aku memandang tak percaya pada Nadia. Tapi rasa kesal itu lebih menguat pada Fahira. Ia malah mulai ngambek, seperti biasa. Aku jadi tak habis pikir. Kenapa anak itu, sekalipun ditegur karena kesalahan sendiri yang sudah jelas, selalu saja seperti merasa punya hak untuk marah.
“Kalau melanggar, merasa bersalah sendiri ya, bukannya menyalahkan orang lain…” ujarku datar seolah menujukannya pada semua santri. Dengan suara yang cukup jelas untuk di dengar oleh Fahira yang sudah menyelinap ke kamar. Pelanggaran kedua.
Salat jamaah santriku hari ini sedikit berantakan. Hanif yang mendapat giliran imam, langsung takbiratul ihram tanpa tedeng aling-aling. Yang lain protes. Tapi karena Hanif tak bergeming, aku menegur yang lain agar segera mengikuti dengan tertib. Di bagian ini Siva yang paling berulah. Fahira masih di teras belakang. Tak ada pertanda dia bakal ikut berjamaah. Sudahlah, lebih baik aku mengabaikannya dulu saat ini.
Seusai shalat dhuhur, aku memanggil satu per satu para tersangka. Dimulai dari Nadia, Muthma lalu Fahira. Aku berusaha agar mereka menyadari dan mau mengakui kesalahan. Nadia yang paling mudah diarahkan sesuai harapan. Muthma sedikit berkelit, seperti yang kutebak, ia berusaha mengkambinghitamkan yang lain. Tapi aku menegaskan tentang kesalahannya sendiri, bukannya berbicara tentang kesalahan temannya. Ia pun mengaku. Masih ada dinding tipis diantara kami. Terakhir Fahira. Lebih banyak waktu yang kubutuhkan untuk membuka hati dan…mulutnya. Anak itu sedikit beda. Kerap menceracau tanpa suara jika tampak tersudut. Yang kumaksud, dia membuka mulut seolah mengucapkan sesuatu, tapi tak mengeluarkan suara sedikitpun. Aku belum tahu benar, apakah itu model pembangkangan atau bentuk perasaan tak berdayanya. Dia mengakui kesalahannya, tapi tak ada jalan untuk berlama-lama berbicara dari hati ke hati. Dia masih menutup hatinya, mungkin merasa terancam. Sepertinya akan lebih buruk jika menahannya lebih lama. Masih ada dinding tebal diantara kami.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar