Apa yang kita lakukan di sini? Meratapi diri berhari-hari, menangiskan duka
yang menganak sungai,..atas nama dan untuk kepedihan tak kasat mata, derita
pribadi. Kita bergolak dalam kemelut jiwa tak berkesudahan, bergelung dalam
kesedihan tak bertepian, perasaan kita sendiri yang dimaknai begitu dalam,
terlalu dalam, terlalu berlebihan dari seharusnya kita menyikapi. Kita
gelagapan saat memasuki ceruk terdalam sisi muram kehidupan, gelapnya kita
sendiri yang mewarnai begitu pekat.
Memerangkap diri dalam gua kebisuan tanpa
cahaya, seolah-olah tak bisa melihat padahal kita hanya sedang membutakan diri
dengan memejamkan mata, menolak masuknya cercah sinar lewat celah yang begitu
banyak, tak hanya satu, tapi terus berpura-pura tanpa sadar bahwa kita
tak lagi bisa melihat cahaya.
Mengapa harus bersikap demikian, sekilas menyiksa
diri, bagi yang berada di haluan bebeda; hal itu tak bisa dimengerti, lalu kita
semakin meyakinkan bahwa mereka dan siapapun selamanya tak akan memahami apa
yang tak mereka alami.
Mungkin, bahkan kita pun tak sadar, bukan karena ini tak
bisa dipahami, kita yang kadang menginginkannya menjadi sulit dipahami, dan masih ingin
terus bersikap sama pada setiap keadaan meski nyatanya situasi pun telah berubah,
masih ingin mendiami kebekuan; kebisuan; dan kegelapan, kita telah terjebak
dalam ceruk itu sekian lama, dan entah karena pertalian seperti apa; kita telah
terlanjur terikat dengannya, ketika membebaskan diri darinya dianggap jauh
lebih menyulitkan dan penuh resiko tak menyenangkan, meski akhir sejatinya
adalah kebahagiaan setelah periode-periode sulit itu berlalu dan tersingkirkan,
sebagaimana luka yang pada akhirnya mengering, sembuh, terpulihkan setelah
menelan pil
pahit tak mengenakkan atau setelah menjalani serangkaian terapi yang
sekali-kali juga terasa menyakitkan.
(131210)
#belum diedit
0 komentar