Cinta, Sahabat dan Keramaian.

By Ummu Thufail - Januari 05, 2017



Pfh..., subhanallah... seharian ini mood kurang baik, nyeri di perut bak ombak lautan yang datangnya pasang surut. Mo ngapa-ngapan bawaannya malees bangeet. Ngga ada pilihan selain membuka laptop mungil ini, mengintip beranda rumah hati yang mulai berdebu karena jarang dikunjungi, hiks. Ayo Menulis...! Writing to healing! Kali aja nyeri perut dan moodi-nya bakal hilang, aamiin.

Nulis apa ya... 😪... tik-tok-tik-tok-tik-tok...😖 *mikir kerass... 😓 😥 hm... 🙇  Okay! 🙆 
Kita (lagi-lagi) akan sedikit melow kali ini, karena kita akan berbicara tentang "Cinta, Sahabat dan Keramaian." Judul yang syahdu dan... sedikit aneh ya! Hehe, tentu ada alasan dibaliknya.
Tersebutlah... di suatu waktu dan tempat, beberapa tahun yang lalu, hidup seorang anak perempuan dengan ibunya. Nun di sana, di desa nan sunyi sepi, gelap gulita di malam hari. Desa yang dirahasiakan namanya itu, terletak di Pulau Sulawesi, tepatnya provinsi Sulawesi Selatan, tepatnya lagi... di sebuah lembah di tengah-tengah lingkar pegunungan, jauh dari ibukota (ya ibukota negara, ya ibukota provinsi, ya ibukota kabupaten) dan... keramaian. 

Singkat cerita (berhubung kisah aslinya demikian panjang), si anak perempuan ini, sebagaimana anak-anak lainnya, juga punya mimpi. Diantara sekian banyak impian, perhatiannya tersita pada tiga hal yakni, cinta, sahabat, keramaian. *duh cetek banget mimpinya nak, seumuranmu tuh malah ada yang mimpinya jadi presiden lho, minimal dokter ato polisi... kamuuu.... 🙈🙈🙈. OK! Disini gak ada bully ya, anak-anak koq... bebaslah dia mimpi apa 🙅

Kita kembali pada anak perempuan yang galau itu. Meski ia tak pernah menyatakan dengan jelas seperti apa mimpinya, kita bisa melihat dari tulisan-tulisan dan angan-angannya di setiap pagi dan petang (baca: hari). Bukan rahasia lagi, jika di zamannya tersebut anak-anak esde seumurannya sudah pada kenal yang namanya taksir-menaksir harga. Ada yang malu-malu kucinglah, ada yang demo terang-teranganlah. Untungnya dia anak yang pemalu, sangat pemalu, bahkan terlalu malu untuk sekadar mengakui perasaannya 🙈🙈 Tak ada pelajaran baik ia dapatkan di fase ini, selain merasakan lelahnya merapikan perasaan agar tak ketahuan. Kelak dikemudian hari, giliran ia jadi guru esde pula, malah jadi suka parno. Diam-diam meneliti air muka murid-muridnya sembari berdoa dalam hati agar anak-anak itu "baik-baik saja". Kelak pun, tahulah ia, apa yang ia angankan selama ini bukanlah sejatinya cinta sebagaimana yang ia ketahui kini. 

Lalu sahabat. Si kuper ini paling sering mengharu biru soal sahabat, ketimbang tema yang lain. Maklum, karena ia lebih sering bergaul sama buku, meringkuk di rumah, anak mami yang takut dimarahi jika ngelayap kemana-mana..., jadilah ia kurang teman, yang notabene tempat nongkrongnya mereka seringnya di sungai-sungai ujung desa. Ya, anak-anak desa itu suka janjian ketemuan di sungai saban sore bahkan sejak pulang sekolah di siang yang terik. Sepertinya ini juga jawaban, mengapa anak perempuan pendiam dan pemalu itu mungkin jadi satu-satunya anak desa yang gak tahu berenang. 

Keramaian. Yah, akhirnya kita tahulah..., tuh anak tinggalnya di desa terpencil di sana. Jauh dari lalu-lalang kendaraan dan hingar-bingar perkotaan. Hanya berteman kesunyian dan bunyi jangkrik di setiap malam. Wajar, jika kelak dia betapa merindukan keramaian. Baginya, sunyi adalah bisa mematikan. Pelan-pelan membinasakan dan mematikan perasaannya tentang keriangan.

Begitulah kisahnya, akhirnya jadi lurus-lurus begini. 🙇🙇🙊








  • Share:

You Might Also Like

0 komentar