Cerita Dari Desa

By Ummu Thufail - Januari 20, 2017



Pagi adalah bagian hari yang paling damai. Aku memulai rutinitas dengan shalat subuh lalu mandi. Jika persediaan air di rumah menipis, kami harus cepat-cepat menuju sumur umum di tengah desa. Sebelum hari terang biasanya kami tiba di sana. Jika matahari telah menyingsing, sumur akan mulai ramai dengan penduduk desa yang juga hendak mandi, mencuci pakaian dan mengambil air. Meskipun cuaca masih dingin, air sumur di waktu subuh menjelang pagi terasa lebih hangat. Entah karena apa, tapi aku jadi lebih suka mandi di sumur sebelum matahari terlihat di timur.


Sepulang dari sumur, aku lalu berpakaian dan bersiap sarapan. Teh hangat dan masakan ibu adalah kesukaanku di tiap pagi. Tak pernah jadi soal, makanan apa yang dihidangkan oleh ibu untukku. Semua buatan tangannya selalu cocok di lidahku. Seperti desa ini, kami terbiasa dengan kehidupan yang sederhana, bahkan yang paling sederhana. Meski ayah dan ibu sama-sama PNS dan bergaji tetap, pakaian dan makananku tak jauh berbeda dari anak-anak pedesaan lainnya yang orangtuanya rata-rata petani. Aku yang selama itu tak tahu bahwa penghasilan ayah dan ibu lebih banyak disisihkan untuk kedua saudaraku di kota, semakin terbiasa hidup prihatin. Aku tak pernah rewel meminta ini-itu, meski untuk hal sederhana yang sebagian besar anak-anak desa memilikinya. 

Setelah sarapan, aku akan berpamitan pada ibu. Hanya sesekali kami berbarengan ke sekolah -ibu mengajar di sekolah yang sama- selebihnya ibu akan menyusul. Dan setelah melangkahkan kaki keluar dari rumah, pelan-pelan keceriaanku menghilang. Kalian tahu kenapa? Karena di kepalaku selalu terlintas sebuah pertanyaan, "apa yang akan kutemui di sekolah hari ini?"

Bukan soal pelajaran, aku suka hampir semua pelajaran kecuali Matematika, rangking 1 hampir selalu bisa kupastikan akan tertera di raporku. Tapi..., satu yang tak pernah bisa kujawab hingga kini, entah mengapa sebagian besar teman-teman kelas seolah tak menyukaiku. Seringkali jika datang terlalu cepat di sekolah dan pelajaran belum dimulai, ada saja teman yang sejak melihat kedatanganku sudah melontarkan berbagai sindiran. Aku bingung karena merasa tak punya kesalahan pada temanku itu. Tapi ia dan beberapa orang terlihat sangat membenciku. 

Jadi yang kulakukan adalah diam. Semakin mereka menyudutkanku, semakin aku terdiam membisu. Aku takut, jika salah mengucapkan sesuatu mereka akan menghujaniku dengan berbagai perkataan yang tak ingin kudengar. Tapi dalam hal pelajaran, tak seorang pun bisa mendikteku. Aku tak pernah mau kalah unjuk kebolehan, kecuali... lagi-lagi di bidang Matematika, untuk yang satu ini aku sering mati kutu jika materinya mulai rumit. Aku selalu berada di belakang Ros, teman kelasku yang dikenal jago soal hitungan. Hm... untungnya cuma satu, selebihnya tak ada yang (boleh) mengalahkanku.

(bersambung...)

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar