A Great Heart

By Ummu Thufail - Oktober 14, 2016




filckrdotkom


Majelis telah bubar. Sebagian besar akhwat telah bergegas meninggalkan ruangan, sebagiannya lagi menunggu jemputan, sisanya menunggu waktu shalat Dhuhur tiba sebelum melanjutkan agenda berikutnya. Aku diantara yang tersisa itu, menunggu kak Pat bersiap temenin cari makan siang di luar, sembari menahan gejolak perut yang sedari tadi keroncongan*eh

Dengan pose yang tak nyaman aku duduk lemas di atas karpet, menumpukan kedua tangan ke belakang, di hadapanku seorang balita terbaring lelap. 

"Anaknya yang satu mana, Nur...?" tanyaku pada sang ibu yang sepertinya menunggu jemputan juga.

"Di rumah mertua, Kak..."jawab wanita muda yang kira-kira usianya terpaut setahun dibawahku.

Lalu mengalirlah obrolan ringan diantara kami, nyerempet-nyerempet ke soal anaknya yang rewel-lah, capeknya di malam hari usai beraktivitas fullday, soal ibuku pasca operasi kanker, terus soal mamanya yang juga pernah menjalani operasi serupa. Kemoterapi dan teman-temannya.

"Waktu itu..., kita kan masih anak-anak ya Kak, belum ngerti semua itu..." 

Ada getar yang tak biasa dalam nada bicaranya, saat mengisahkan bagaimana ia menemani sang ibu berobat rutin ke rumkit provinsi. Saat itu dia masih SMA dan lagi sibuk-sibuknyaa ujian.

"Kadang saya suka ngeluh ke mama..., aduh kalo temenin mama terus ke rumah sakit..., bisa-bisa saya nggak ikut ujian..."


Ayahnya telah tiada kala itu. Nur adalah sulung dari dua bersaudara, adiknya juga perempuan. Hanya dia seorang yang rutin menemani sang ibu bolak-balik rumah sakit di kota provinsi, jadwal cek-up dan kemoterapi.

"Mama agak lambat ditangani, sudah sering mengeluhkan sakitnya sejak lama..., tapi ya begitu, saya masih fokus belajar, nggak tau kalo penyakitnya separah itu..."

"Sering telat kemoterapinya, kalo misal HB-nya rendah atau kondisinya nggak stabil..."

"Saya kirain kemoterapi itu biasa saja, mama sering nggak tahan. Rambutnya sampai rontok-rontok, sering kesakitan..."

Hm..., aku sudah sering mendengar perihal sakitnya pasien kemoterapi, tapi alhamdulillah..., itu sepertinya tak dialami ibu. Paling banter hanya sekitar tiga hari mengeluh tak enak makan. Jadwalnya pun tak pernah telat gegara hasil lab darah yang abnormal, paling telatnya karena kamar-kamar rumkit yang suka penuh.

Matanya memerah, tapi ekspresi wajahnya menegaskan bahwa ia masih kuat mengisahkan tentang mamanya. Kini perihnya perut kelaparan yang tadi kurasakan..., berganti sesak yang menggerogoti dada.

"Waktu itu juga..., mobil angkutan kan belum kayak sekarang yang antar jemput. Saya harus ke terminal dulu kalo mau pulang. Supaya nggak kemalaman, kadang sehabis mama kemo, saya lepas tabung infus dan keluarin cairannya sampe habis. Mama juga yang kadang nyuruh. Terus saya laporin ke suster kalo infusnya sudah habis, biar mama bisa keluar cepat dari rumah sakit...."

Whats....!!??!!??

Detik itu aku seolah menahan nafas, tak habis pikir, tak bisa kutahan gerak bola mataku yang mungkin sudah melotot lebar-lebar. 

"Kadang susternya suka heran, kok bisa cepat habis.... Tapi saya bersikeras agar mama bisa segera pulang. Mau bagaimana lagi, nggak ada yang jagain mama, sedang besoknya saya harus ujian...." Kini airmatanya jatuh satu-satu.

"Kamu sendirian saja urus mamamu waktu itu...?! Nggak ada keluarga yang bisa temenin ato bantu jagain...?!"

Dengan gerak yang tenang, dihapusnya airmata yang masih enggan berhenti.

"Nggak ada, Kak. Mereka pada sibuk kerja waktu itu, rata-rata PNS, jadi hanya saya yang temenin mama..."

Ah, ini tak masuk nalarku. Sesibuk apakah mereka...? Setahuku, Nur berasal dari keluarga terpandang dan bangsawan. Masih kerabat dengan teman SMA-ku, Nasli, yang rumahnya hanya ratusan meter jaraknya. Nur juga bertetangga denga kerabatnya, terpisah sekitar tiga rumah saja. Ya, sesibuk apa mereka, sehingga tak satupun sosok orang dewasa yang bisa mendampingi mereka, bahkan kalau perlu mengganti peran Nur yang masih anak sekolahan dan galau dengan nilai-nilai ujiannya kala itu...?! 

Di tahun-tahun belakangan saja, dimana tingkat kepedulian semakin merosot tajam dan rasa persaudaraan mulai berkurang, aku masih bisa memastikan, akan ada kerabat yang siap membantu kami di saat-saat kesulitan seperti kasus Nur dan mamanya. Tante dan Om jauh pun, pasti tak akan membiarkan kami saja yang mengurus keperluan orangtua kami di rumah sakit. Waktu sakit ayah kambuh dan agak parah, sekali menelpon saja, Om sepupu ayah yang PNS itu segera datang ke rumah sorenya membawa mobil dan siap mengantarkan ke klinik dokter. Dia juga yang kadang lantas menguruskan administrasi jika ayah masuk rumah sakit 

Saat ibu yang masuk rumah sakit, sepupu ayah itu, bergantian dengan adiknya (kebetulan mereka di kota yang sama dengan kami) mengantarkan rangsum makanan, belum lagi tetangga jauh yang sekampung dengan ibu, juga saban hari mengantarkan makanan begitu tahu ibu ada di rumah sakit.

Jadi, sejauh ini aku masih tak bisa mengerti sesibuk apa mereka, keluarga Nur yang terpandang itu. Tidak adakah seorang pun tante atau om-nya yang bisa ijin tak masuk kantor demi mengurus kerabat mereka yang hanya ditemani oleh anak-anak yatimnya...?

Rasa kagum dan respek-ku pada keluarga Nur yang kukenal itu, serta-merta jatuh nyaris ke titik dasar. Buat apa mereka dikenal sebagai keluarga bangsawan, dengan anak-anak yang gemilang prestasinya, alim pula, jika pada kasus Nur mereka nyaris tak ada. Ah, mungkin aku yang buru-buru menilai. Tapi bagaimanapun, nalarku sulit mencerna kesibukan yang memenjarakan rasa kepedulian mereka.

Cerita Nur masih mengalir, perasaanku tertohok sedemikian dalam. Tahu bagaimana ekspresiku sepanjang ia bercerita? Aku tersenyum, kadang-kadang lebih mirip senyum heran. Kusembunyikan kegetiranku, menimpalinya sedikit jenaka. Seolah itu adalah kisah masa lalu yang memang mengejutkan tapi kesannya dia bisa melalui semua itu dengan hebat. 

Ia menjelaskan betapa kacaunya ia di masa-masa itu. Pikirannya terbelah antara ujian sekolah dan jadwal cek up mamanya. Berdebat dengan suster, saat ia disuruh mengambil darah di PMI dan ia tak tahu dimana tepatnya, dan ia bingung mengapa harus dirinya yang mencari kesana-kemari di kota yang tak dikenalinya. 

"Golongan darah mama AB rhesus +. Golongan darah yang paling langka dan sulit ditemukan saat itu.Tapi alhamdulillah, dengan pertolongan Allah, saya selalu berhasil mendapatkannya, Kak. Meski selalunya tinggal sekantong..."

"Pernah pula, saya keluar malam-malam mencarinya. Karena nggak kenal tempat, saya sampai kemalaman baru kembali ke rumah sakit. Pintu gerbang sudah tutup. Seorang OB mendapati saya dengan keheranan, nih anak beraninya kelayapan tengah malam begini... si OB terus menegur saya."

"Saya sudah bingung mau lewat mana, semua pintu tertutup, dan saat itu malam Jumat..."

"Si OB lalu memberi tahu saya, tinggal satu jalan masuk tapi lewat lantai 2 dan itu jauh memutar. Karena saya nggak tahu, dia pun mau mengantarkan..."

"Saya nggak bisa tenang saat itu, si OB berjalan di belakang. Pikiran saya nggak karuan. Bagaimana kalau tiba-tiba pemuda OB ini menyekap dari belakang, tempatnya sepi sekali, tak akan ada yang menolong saya. Saya pun berjalan cepat-cepat, setiap jaraknya mendekat, saya mempercepat langkah lagi. Sampai-sampai si OB-nya mengeluh karena saya berjalan terlalu cepat. Tapi alhamdulillah..., bisa sampai dengan selamat."

Kasihannya kamu Nur, batinku. Bahkan pada orang yang berniat baik pun dia jadi parno. Bagaimana tidak, tengah malam di koridor yang lengang hanya ditemani seorang pemuda office boy. Anak seusia Nur mungkin akan berpikiran sama semua. Terlebih malam Jumat selalu dianalogikan dengan mistis atau sesuatu yang buruk lainnya.

Oh ya, soal mobil angkutan pulang kampung tadi belum selesai. Awalnya aku mengira Nur pulang barengan mamanya. Ternyata sang mama dititip dulu di rumah sepupunya (tuh ada sepupu juga rupanya di kota itu), terus Nur pulang kampung sendirian buat ujian sekolah esok harinya. Mamanya masih tunggu jadwal cek-up berikutnya. Dan Nur akan datang lagi menemaninya, sendiri.

Jika sudah sampai terminal, biasanya kenek dan sopir kota tujuan akan berebut penumpang sampe narik-narik barang bawaan (hm... pernah ngalamin juga sih, dua-tiga kali lah waktu kuliah). Nur remaja yang takut salah mobil akan menjawab tegas kalo sudah janjian dengan langgananya. Masalahnya, jika mobil langganan sudah keburu berangkat, sopir yang lain pada tahu dan akan maksa. Pernah sekali, Nur terpaksa naik mobil angkutan lain karena yang ia cari sudah pergi. Di tengah perjalanan, satu per satu penumpang turun. Masih tersisa beberapa kilometer lagi, saat tinggal dia, sopir dan keneknya di mobil tersebut. Malam-malam.

"Adek ini kok belum tidur. Memangnya nda suka tidur di mobil ya kalo malam..." sahut si sopir.

"Nggak Pak, saya memang nggak suka tidur kalo lagi naik mobil..." jawab Nur

"Padahal Kak, mata saya sudah berat pengen banget tidur. Tapi takut nanti ada apa-apa, saya tahan nggak tidur. Mulut saya terus komat-kamit baca ayat yang saya hafal sampe tiba di rumah."

"Di rumah pun, kalo ada orang tanya (sepeninggal kedua orangtuanya), saya bilang mama dan bapak lagi pergi."

"Saya nggak mau orang itu tahu kalo tinggal saya berdua dengan adik di rumah. Banyak sih keluarga yang pada panggil tinggal di rumahnya, tapi saya merasa nggak enak."

Tak pernah terbayang sebelumnya, Nur ternyata mengalami peristiwa yang berat di masa mudanya. Kehilangan kedua orangtua saat masih remaja. Sang ibu tak tertolong lagi.

Ponselnya yang tergeletak di samping anak bungsunya berdering. Sekilas jelas kulihat nama penelepon, Aby Lovely (yee...ini mah asli kepo). Entah mengapa, aku merasa terhibur melihat nama itu. Berharap pernikahan mereka bahagia dan bisa memulihkan luka masa lalu Nur. Semoga keluarga kecilnya itu kini menjadi penenteram bagi hatinya yang pernah diamuk badai duka. Ah, aamiin.

"Kak, duluan ya, abinya sudah menunggu di depan..." 

"Ya, hati-hati. Ahh...! Nuur...! Aku nggak pernah nyangka cerita hidupmu seperti itu. Langsung hilang laparku mendengarnya...." Nur hanya tersenyum mendengar pengakuanku yang terlalu jujur. Biarlah, biar dia tahu bahwa aku pun shock mendengarnya, bahwa dia pernah menjalaninya. Agar  dia sadar, telah dihebatkan oleh Allah untuk melewatinya, meski penuh drama (he... ini ala-ala motivator siapaa gitu...).

***
"Kak..., tahu nggak kalo ternyata Nur tuh sudah yatim piatu sejak dulu..." penasaran, aku ingin tahu sejauhmana kak Pat tahu tentang Nur. Belum move-on nih.

"Oh ya...? Tapi kan dia sekarang sudah menikah..." pungkas kak Pat.

"Iya... tapi nggak kebayang kalo dulu dia seorang diri urus mamanya saat masih SMA. Kasian ya..."

Menikah. Mungkin semua orang umumnya berpendapat sama, menikah bisa menjadi salah satu solusi bagi seseorang yang tak lagi punya siapa-siapa. Hidup dengan suami atau isteri saja, orang tak akan mengatakan bahwa dia sedang kehilangan. Meski telah yatim-piatu sekalipun. Begitukah...? Hm... begitu ya....

Dan hari itu berakhir dengan pikiranku yang belum selesai memutar ulang drama kehidupan remaja Nur. Berusaha mencernanya, tapi masih saja belum bisa mengerti di bagian tadi... "kesibukan yang menghilangkan kepedulian". Tapi siapapun bisa mengerti, bahwa takdir-Nya tak harus berjalan sesuai keinginan. Yang terlihat amat buruk dan menyedihkan sekalipun, belum tentu benar-benar seburuk apa yang kita pikirkan. Kita...? Aku aja kali'...hehe... hiks-hiks.#eh.

***
Meski jadi ikut-ikutan galau (asli baperan, hiks) setelahnya, kisah Nur menyuntikkan satu motivasi baru berdosis tinggi. Dia telah kehilangan tumpuannya, kedua orangtuanya, disaat belum siap, disaat masih sangat membutuhkan kasih-sayang dan dukungan mereka. Disaat masih terbata menata kata 'mandiri'. Rasanya aku lebih siap andai Allah berkehendak mengambil titipannya di sekitarku, walau tak pernah ingin, tapi sekarang aku kehabisan alasan untuk kalah tegar dari Nur. 

Alhamdulillahi bini'matihi tatimmushshalihat. Alhamdulillah, yang dengan nikmat-Nya sempurnalah kebaikan. Kalimat syukur itulah yang lebih patut untuk kuucapkan. Tak peduli apa yang telah berkurang bahkan hilang dari hidupku, kenyataannya aku masih jauh lebih beruntung darinya, masih memiliki apa yang tak lagi ia punya. Semoga Allah senantiasa menyabarkanmu saudariku, dan mengganti kehilangan itu dengan yang lebih baik darinya. Aamiin. Allahumma aamiin.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar