Ramadhan Bukan untuk Euforia

By Ummu Thufail - Mei 15, 2018



Jika ini ramadhan terakhir, saya tidak akan menyia-nyiakannya. Ahh, bukankah seluruh ramadhan memang tak selayaknya disia-siakan...?! Dia terlalu istimewa, tak pantas diperlakukan biasa. Setiap yang beriman pasti merindukannya, rindu keberkahan dan janji bonus pahala berlipat-lipat ganda di dalamnya. Yap, inilah bulan yang mengali-lipatkan balasan atas setiap amal kebaikan. Inilah hadiah Sang Maha Pemurah atas umat Rasulullah yang sangat terbatas usianya. Usia kita, umat Nabiyullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam adalah yang paling pendek dibandingkan umat-umat sebelumnya. Dengan usia yang maksimal berkisar 63 tahunan atau paling lama usia 100-an, kesempatan beramal kita tak mampu menyaingi umat nabi-nabi terdahulu, usia nabi Nuh bahkan hampir menembus angka seribu.


"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun" (Qs. Al-Ankabut 14).

Jika ini ramadhan terakhir, dan semestinya kita tak perlu menunggu "terakhir" itu sebagai momentum, saya berjanji pada diri sendiri, tak akan melalui bulan suci sebagaimana belasan tahun yang lalu. Yang sepertiga malamnya terpaku di depan tv, larut dalam lawakan tanpa makna yang mencuri banyak waktu, sekadar menunggu sahur agar tak kelewatan, lupa bahkan tak tahu jika saat itu adalah detik-detik emas untuk bersua dengan Sang Khalik. Atau yang siang harinya lewat dengan tidur yang nyenyak. Eh, hampir lupa... sebelumnya, yang pagi ba'da subuhnya habis di jalanan, ngelayap bersama rombongan teman hingga ke batas pedesaan. Daan... yang jelang maghribnya tak mau absen dari agenda ngabuburitan, tak jelas mau kemana yang penting waktu tak terasa hingga tiba bunyi bedukan yang memanggil pulang, eheheheh... 

Yang barusan tuh kayaknya bukan renungan sebelum ramadhan deh, tapi mengurai lintasan kenangan beberapa tahun silam dimana diri ini masih remaja dan hanyut bersama euforia. Euforia ramadhan. Ini yang menimpa sebagian umat Islam, sebagian besarnya sangat mungkin menimpa remaja muslim kita. Maka sebagai eks-remaja yang sedikit tahu bagaimana usia muda ini menghabiskan waktu di bulan ramadhannya, dengarkanlah... 

Ramadhan bukan untuk euforia, yang tak jelas juntrungnya, yang mengalihkanmu dari makna dan hakikat sejatinya. Dulu sekali, setiap ramadhan tiba... kampung berubah riuh dengan pulangnya para perantau. Ya... yang merantau karena kerja, yang merantau karena sekolah... pada ngumpul semua. Keluarga pun bahagia, teman lama tak kalah senangnya, ssst ada yang dapat surat cinta setelah pedekate seusai jalan-jalan subuh.

Miris bukan, bulan suci ternodai oleh aksi para muda-mudi ini. Bukannya meraup pahala, justru melipatgandakan dosa. Yap ini kaidah, jika ada suatu waktu dimana amal kebaikan dilipatgandakan, maka kemaksiatan di waktu tersebut juga dilipatgandakan. Iih kan ngeri....

Itu cerita lama, mungkin sekarang jauh berbeda apa yang terlihat kasat mata. Di era milenial dimana banyak transaksi dan interaksi berlangsung secara online, fakta di atas mungkin sudah menguap, berganti dengan ketikan jempol di atas touch screen. Hanya dengan satu smartphone, seseorang bebas meng-klik icon aplikasi apa saja, chatting-an hingga streaming yang semuanya bisa menyita banyak waktu berharga kita. 

Ramadhan... Ramadhan....
Ia bukan untuk euforia yang lalu disambut dan diperlakukan tak selayaknya. Saya nasihatkan pada siapapun dan yang pertama pada diri saya sendiri. Bergegaslah, bersiaplah... menyambut ia yang kini di depan mata. Barangkali ia ramadhan terakhir, maka berbuatlah di dalamnya seolah engkau tak akan menjumpainya lagi.

***

Tulisan ini diikutkan dalam postingan tematik  Blogger Muslimah Indonesia

#PostinganTematik
#PosTemSpesialRamadhan
#BloggerMuslimahIndonesia

  • Share:

You Might Also Like

10 komentar

  1. Aamiiin...terima kasih sudah diingatkan dengan tulisan ini. Selamat menunaikan ibadah ramadhan. Mohon maaf lahir dan batin.

    BalasHapus
  2. Yuk kita jadikan momentum ramadhan untuk makin bermuhasabah ^^

    BalasHapus
  3. Ketika Ramadan salut sama yg mau meninggalkan akun medsos nya demi kehusyuan ibadah.

    ialah suka kasihan sama yg selalu aktif di medsos tapi tidak pernah buka Al Quran. Aktif nonton drama korea berjilid episode tapi gak pernah baca kitab sucinya.

    Semoga kita dihindarkan. Amin...

    BalasHapus
  4. semoga kita dimampukan untuk melakukan yang terbaik di ramadan ini. aamiin..

    BalasHapus
  5. Menyambut itu bagus asal sambutannya juga pas dan tidak salah fokus ya, Mba....

    BalasHapus
  6. Makna sejati Ramadhan jadi tergeser dengan sambutan yang sama sekali tidak ada esensinya dengan Ramadhan. Dan hal ini memang nyata banget terjadi di sekitar saya. Semoga kita bisa memaknai Ramadhan dengan lebih baik ya Mbak

    BalasHapus
  7. Ramadhan justru seharusnya jadi momen evaluasi diri yang lebih dalam ya mbak

    BalasHapus
  8. Pas di Indonesia memang terasa sekali Ramadhan nya..tapi itulah saya malah sering lalai karena asyik belanja, buat kue, dll. Sekarang di sini, saat di negara minoritas makin terasa indahnya Ramadhan T_T

    BalasHapus
  9. Yah, ramadhan memang bukan untuk euforia tp untuk mmembuktikan keimanan kita. Setidaknya di bulan ramadhan kita bisa lebih memaknai hakikat berbagi dan merasakan apa yang biasa dirasakan oleh orang3 yang makan sehari saja susah. Tulisannya jadi reminder juga buat sy mbak semoga sj ya dengan pengandaian tsb kita bisa lebih mengoptimalkan ibadah kita di bulan penuh berkah ini :)

    BalasHapus
  10. Tradisi ngabuburit sepertinya sekarang sudah turun popularitasnya seiring meningkatnya kesadaran seperti yang Mbak alami, semoga kita bisa menghayati Ramadlan lebih baik lagi.

    BalasHapus