Kisah Pemilik Jiwa yang Agung

By Ummu Thufail - Februari 10, 2016



Hampir hapus dari ingatanku tentang kisah-kisah pemilik jiwa agung yang menakjubkan. Berlalu banyak bilangan tahun kala kuakrabi lembaran-lembaran itu. Kisah yang berdebu dan tak banyak tersentuh, sedang kalimat-kalimatnya serupa kabar dari negeri antah berantah. Benarkah ada kisah serupa itu? Tanya anak manusia, yang terlahir ribuan tahun setelahnya, sebab tak pernah ia "baca" dalam nyata, di kehidupannya.
Keranjingan membaca membawaku hanyut dalam segala jenis bacaan, sejauh yang bisa kudapatkan. Kerap aku tersasar pada bacaan yang mungkin terbilang "berat" untuk usiaku. Seperti kala kueja kisah-kisah israiliyat yang kadang-kadang rasanya tak masuk akal, atau kutipan-kutipan sufistik yang membuatku kagum lalu bingung, atau sebuah buku karangan tokoh Syiah yang tak rampung kubaca karena ragu setelah mendengar bahwa itu tulisan aliran sesat. Pfhfh... teman, membaca pun jangan sampai kebablasan, buku tanpa guru -pada kasus tertentu- bahkan bisa membuat kita hilang akal. Ah, baru teringat, pernah pula kutemukan penggalan tabloid agama lain (baru sadar sekarang, sepertinya itu punya ****rah) yang ceritanya juga membawa terbang imajinasi kanak-kanakku...! Ibu-ibu, periksa bacaan anak-anaknya yah...! -_-

Hm... baiklah, ini sedikit melenceng, sampai dimana tadi kataku? Ya, tentang kisah pemilik jiwa yang agung, insan yang memiliki akhlak yang luhur. Rasa-rasanya aku tengah bermimpi, saat membaca tentang jiwa yang cinta berkorban, mengakrabi kefakiran, menjauhi keduniaan, mengasingkan diri dari keramaian, tawadhu dan zuhud, atau yang tegas dan tak takut menerima celaan dan kebencian. Mereka yang tegas dalam pilihannya, tak sedikit pun ragu pada jalan yang dijejakinya, meski sendiri. Barangkali kisah-kisah itu, mengilhami sebagian diriku, mematri sebagian idealismeku.

Meski bacaan berdebu itu tak semuanya layak ditiru, terutama kisah israiliyat yang tak seluruhnya memiliki sumber yang jelas (kita pun sebagai umat Nabi Muhammad tak diperintahkan untuk menjadikannya rujukan), tapi akhlak mulia yang juga dibenarkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah, patut menjadi inspirasi. Tentang pengorbanan, mendahulukan orang lain meski sama membutuhkan. Tentang zuhud, mencukupkan diri sebatas kebutuhan dan yang jelas kehalalannya. Tentang sikap tegas dan berani, tak takut celaan dan kesendirian saat memilih jalan kebenaran.

Memang ada sedikit koreksi, pada apa yang tak sesuai dengan syariat. Seperti uzlah (mengasingkan diri) dengan alasan meninggalkan kemewahan dan dunia, atau membatasi diri pada sedikitnya materi yang sampai menyulitkan diri. Maka kiblat kita bersikap adalah jalan hidup Rasulullah, again. Hidup di tengah-tengah manusia, bergaul dengan segala karakter yang berbeda dan mendakwahi mereka. Mengenakan dan memakan apa yang ada dan halal baginya, terkadang dengan pakaian bagus dan sebaliknya, terkadang memakan daging, susu, kurma atau menahan lapar saat tak berpunya.

Jadi apa lagi yang hendak kukatakan? Tak banyak, hanya mengukur diri pada satu neraca. Mereka pemilik jiwa menakjubkan itu, orang saleh, ahli kitab, sahabat, tabi'in, para anbiya'..., lalu diriku di satu sisi. Rasanya aku tak memiliki apa-apa.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar