Pintu Asa

By Ummu Thufail - November 23, 2021

"Sri... benar kamu akan menikah??? Menikah dengan siapa....???"

Aku tak tahu lagi mau menjawab apa saat ketua kelompok kajianku bertanya. Menikah dengan siapa? Pertanyaan itu lebih dalam dari kalimat yang tersirat. Mila sudah tahu dengan siapa aku akan menikah. Kak Eli pasti yang memberitahunya. 
Aku hanya bisa pasrah, saat di chat berikutnya 
Mila seolah menyesalkan sikapku. Biarlah. Ia tak tahu besarnya beban yang kuhadapi di dalam keluarga. Ada nama baik dan kehormatan yang harus dijaga. Di balik itu, ada harapan yang mulai kupelihara. Semoga yang terjadi adalah yang baik-baik saja... 

"Tidak tahu mau ngomong apa lagi ukh, orangnya sudah mulai kajian juga kata kakak..."

"Sri, kamu segera ya menghadap ke kak Rani dan ke ustadz..."

"Ke mana dulu sebaiknya?" tanyaku, sembari membatin, untuk apa lagi aku menghadap, tak ada yang bisa diubah. 

"Kamu ke kak Rani saja dulu, segera ya..."
                                  ***
"Afwan kak, ada yang ingin saya sampaikan... "
Dengan hati ragu, kuketikkan jari di kolom chat kak Rani. Seolah kak Rani sudah tahu, ia memintaku datang ke rumahnya. Aku semakin tak enak hati. Ya Allah, mudahkan. 

Aku tertegun lama dan tak tahu mau bicara apa. Lidahku rasanya kelu. Takut salah kata. 

"Sebetulnya sudah lama kami menunggu kamu, Sri..."

"Eh...?" aku terpana, sesaat tak tahu apa maksud pembicaraan kak Rani. Sejurus kemudian aku jadi paham, desas-desus tentang diriku sudah sampai di kalangan murabbiyah. Mereka berharap, aku terbuka dan meminta solusi, bukannya berdiam diri dengan kesulitan yang kuhadapi. 

Aku pun menyampaikan dengan singkat tentang kabar lamaran sepupuku. Bahwa awalnya telah kutolak lewat kakak. Aku yang tidak dekat dengan bapak, meminta kakak menyampaikan agar pembahasan tentangku dihentikan. Tapi belakangan, tanpa sepengetahuanku, om datang melamar dan bapak telah mengiyakan.

Kak Rani lalu bercerita perihal salah seorang akhwat yang juga pernah dilamar oleh sepupunya. Tapi akhwat tersebut menolak dan pernikahan itu gagal terjadi. Kak Rani seolah memintaku untuk berjuang lagi, agar tak salah melangkah. Dalam hati aku tak bergeming, apa yang bisa kuubah?

Di lain sisi, kak Rani juga menyampaikan, menyesal telah menikahkan seorang akhwat dengan ikhwah yang usianya jauh lebih muda, sedang sang akhwat telah tegas tidak ingin bersuamikan pria yang lebih muda. Sekarang, suaminya banyak mengekang dirinya dari kegiatan dakwah. 

Dari penjelasan kak Rani aku paham, bukannya akhwat anti dengan yang bukan ikhwah kajian. Namun dari pengalaman, menikah dengan ikhwah yang satu visi, satu frekuensi saja, tak menjamin kehidupan pernikahannya akan mulus, belum tentu ia akan mendapat dukungan terutama dalam kegiatan-kegiatan dakwah. Siapa yang bisa menjamin, saat menikah dengan ikhwah non kajian, seorang akhwat bisa istiqomah, bahkan menyatukan visi mungkin akan menjadi sulit karena bedanya pemahaman dan pandangan. Inilah yang menjadi kekhawatiran terbesar para akhawat, karena kebanyakan akhwat futur setelah menikah dengan yang tak se-visi, beda frekuensi. 

In syaa Allah tidak, aku tidak akan menggadaikan agama setelah menikah, janjiku dalam hati.

"Temui ustadz, sampaikan kondisi ukhti..." saran kak Rani selanjutnya.

"In syaa Allah kamu bisa, Sri..." sahut kak Rani sambil merangkulku saat aku pamit pulang. Di pundakku terasa ada beban baru. Jelas kak Rani masih berharap agar aku berjuang kembali. Aku merasa tak enak, situasiku tak seperti akhwat tadi. Ya Allah, apa yang harus kulakukan... 
                              ***
Hari ini aku akan menghadap ke ustadz Irvan, murabbiku. Rasanya lebih gelisah. Apa yang mesti kukatakan, bagaimana nanti...? Ya Allah beri petunjuk, mudahkanlah urusan hamba. 

"Sri, kamu sudah bilang ke kak Rani kalo calonmu sudah tarbiyah juga?" chat kak Eli. 

"Belum, kak..."

"Kasih tahu yah.."

Ada beberapa lembar uang biru di dalam tas. Kutarik sebagian besarnya. 

"Ukh, ini untuk sumbangan ya...," kuangsurkan uang tersebut pada ukh Ida, yang akan meneruskan donasi bencana. Kuniatkan semoga Allah mudahkan urusanku. Mungkin aku butuh uang itu, tapi kemudahan urusan dari Allah, jauh lebih kubutuhkan dari apapun saat ini. Aku betul-betul bingung harus bagaimana. Bicara pada akhwat saja rasanya aku gagap untuk urusan ini, terlebih lagi pada ustadz, dimana tidak pernah ada interaksi seperti ini sebelumnya. 

Ya Rabb... saat ini aku tak punya tempat untuk mengadu, aku bersandar kepada-Mu ya Allah, tidak ada yang bisa mengeluarkanku dari kesulitan ini selain Engkau. Mudahkan yaa Allah. 
                                 ***
"Kak, apa kemarin saya bilang kalo laki-lakinya sudah tarbiyah juga?" tanyaku ragu di kolom chat kak Rani. 

"Tidak ukh. Segera ke ustadz saja dulu ya..."

"Iya kak...."

Kutanyakan pada kak Khaira, isteri ustadz, dimana dan kapan bisa menemui beliau. Sejurus kemudian chat-ku berbalas, ustadz ada di rumahnya. 
                                       ***

Setibanya di rumah ustadz, yang kulakukan pertama kali adalah meminta izin ke toilet. Entah karena terbawa stres, aku kebelet buang air kecil. 

Aku kemudian diminta duduk di ruang tamu, sehelai kain hijab membentang. Kak Khaira lalu meninggalkanku sendiri menunggu ustadz di balik hijab. Aku mulai tak tenang, lidahku rasanya kelu, harus bicara apa nanti. 

"Ya, silakan..."

Terdengar suara ustadz di balik hijab. Aku kagok luar biasa. Sesuatu rasanya tercekat di tenggorokanku. Aku tak tahu mau mulai dari mana. 

Detik-detik berlalu dengan kesunyian. Rasanya berat menggerakkan lidah ini. Untung ustadz tampaknya sedikit maklum dengan kesulitanku, mau bersabar menungguku berbicara. 

Lama berjeda, mungkin jangkrik pun mulai bosan mengerik meningkahi sunyi. Ustadz mulai bertanya apa yang ingin kusampaikan. Sungguh, menunggu memang sangatlah membosankan, terlebih menunggu lawan bicara yang termangu tanpa suara. 

Aku gelagapan. Berat... berat, berbicara langsung untuk kali pertama dengan murabbi sendiri karena kasus ini. Kusampaikan seadanya perihal kerabat yang datang melamar. 

"...Dulu kita pernah ada beberapa kasus seperti ini. Laki-lakinya bersedia ikut kajian. Kita uruskan pernikahannya. Siapkan panitianya. Tapi ujung-ujungnya akhwatnya yang futur. Sudah beberapa kali kejadian, akhirnya kita memutuskan tidak akan lagi..."

"... pernah juga ada akhwat yang dijodohkan juga. Akhwat tersebut sampaikan masalahnya, lalu dikuatkan oleh akhwat lain. Bagaimana caranya agar pernikahannya batal. Kita dukung akhwat tadi agar berjuang. Lalu ditawarkan ke ikhwa, siapa yang mau selamatkan akhwat ini. Akhirnya majulah seorang ikhwa. Kita uruskan dan berhasil..."

_duh, Tadz... kenapa nggak kasih bocoran sebelumnya, ternyata ada solusi seperti itu toh_ batinku. 

"... pertanyaannya apa yang ukhti katakan sama keluarga...?"

Aku hanya bisa tercenung, bingung ingin menjawab apa. 

"... ukhti sudah iyakan tidak...? kuncinya sama ukhti ini..."

Di balik hijab aku hanya bisa tertunduk lemah, 
"... sudah, Ustadz..," jawabanku rasanya tak lagi bertenaga. 

"... nah itu...," ustadz terkekeh sesaat, entahlah... mungkin menyesalkan sikapku atau bagaimana, rasanya aku tak sanggup lagi berlama-lama. 

Kesimpulan pertemuan itu, pembahasan telah berakhir, toh sudah kuiyakan. Ustadz Irvan hanya memberi sedikit wejangan dan penguatan, intinya agar tetap istiqomah dan berusaha mengajak suami (eh) nanti agar bisa sejalan di atas dien ini. Selebihnya ustadz memberi motivasi, bahwa ada juga yang akhirnya bisa seiring sejalan mengarungi jalan hijrah. 

Aku pun berpamitan pada istri ustadz yang menemuiku setelah pembicaraan itu. Seolah... satu pundakku terbebas dari sebuah beban, satu pundak lagi terbebani beban yang lain. 








  • Share:

You Might Also Like

0 komentar