Beginikah Jalannya

By Ummu Thufail - Desember 22, 2019



Beberapa kali ibu datang menghampiri ke kamar, menatapku seksama seolah ingin bicara. Firasatku tak enak. Alhasil aku terus merengut. Mungkin ibu urung menyampaikan sesuatu. Beliau keluar lagi. Kudengar ayah berbicara.

"Ibu kamu tuh, takut sama anaknya." Sahut ayah. Mungkin kakak yang ditujunya.

"Kamu takut ya, sama anakmu. Kamu takut bicara...?! Iya...?" 

Kali ini aku yakin ayah sedang bicara pada ibu. Tak ada jawaban. Dan aku merasa dilema sekaligus amat bersalah. Seragu itukah ibu bicara padaku. Ibu seperti anak kecil yang sedang dimarahi ayah. Aku tak sampai hati. 

Sesaat kemudian kudengar langkah ibu pelan memasuki kamar. Aku tak berani melihatnya. Takut membuatnya semakin tertekan. Antara aku dan ayah. Ibu seperti jembatan yang rapuh. Ya Allah, aku harus bagaimana. Mengapa akhirnya kacau begini...? 
"... mungkin ini hasil dari doaku, Nak. Aku selalu berdoa, semoga kelak anakku punya mahram. Yang bisa ibu anggap anak sendiri juga. Ibu tak henti-hentinya mendoakanmu..." pelan-pelan ibu berbicara dengan suara yang serak diiringi isaknya yang tertahan.

Aku tak tahu harus berkata apa. Kumainkan HP-ku dengan hati yang tak menentu. Kakak pun datang beberapa waktu kemudian. Duduk di samping ibu dan mulai bicara. Mengatakan bahwa bukan hanya dia (E) yang berniat melamar, kak C juga, bahkan kak I (kakaknya kak C) pernah menyampaikan bahwa 150 juta masih kecil untuk panai'nya). Tapi mereka (kakak, ayah, ibu) tidak melihat pada jumlah seserahannya (uang panaiknya), tapi karakter si pelamar. 

"... aku sendiri dek yang rasakan, bagaimana kalau suami gak bisa jadi anak bagi orangtua kita. Dan aku melihat E itu penyayang sama keluarganya..." jelas kakak, yang juga berderai airmata. Pfhfh, mengapa pada harus menangis sih...? Lebay, batinku. Aku tetap menekuri HP di tanganku. Tak ada kata yang bisa terucap.

"... 

"... jika kamu terima, kamu sudah sangat berbakti pada orangtua, Nak..."

Glek! Kalimat itu mengunci mati semua alasanku. Tak ada lagi yang bisa kukatakan. Aku yang merasa selama ini banyak sibuk dengan diri sendiri, yang tak banyak berbuat sebagai bentuk bakti pada ayah dan ibu, terhenyak. Jadi begini? Dengan jalan ini saya berbakti...? Baiklah. Beginikah? Caraku menebus semua kesalahan dan kurangnya baktiku? Caraku untuk meraih keridhaan keduanya? Meski dengan cara yang tak kuinginkan...

"...ya...?" ibu bertanya, memastikan.

Aku mengangguk lemah, masih tak berani mengangkat wajah.

"... ibu juga minta maaf, karena tidak memberitahumu sebelumnya..." sahut ibu sambil menyeka sisa tangisnya. Ibu mengangsurkan tangannya, kusambut dan kutempelkan ke dahiku. 

Ya Rabb, tolong hamba....

*Bumi Arung Palakka disapu mendung.




  • Share:

You Might Also Like

0 komentar