Jilbab Untuk Iyat

By Ummu Thufail - April 18, 2017



Perawakannya kecil dan cenderung kurus. Matanya selalu berbinar saat tersenyum, ekspresi yang lazim tampak darinya. Sebut saja namanya Iyat, teman SMA saat kelas 3. Meski tampilannya sederhana namun ia dikenal sebagai salah satu siswi yang cerdas di kelas. Aha... anak ini juga kalem dan pendiam. Entah lebih kalem mana dibanding saya saat itu, hehe. Ya, diantara anak kelas IPA satu yang gokil, ekspresif, ramah plus rame..., nyempil-lah beberapa orang kalem, diantaranya saya dan Iyat heheh.

Selain teman kelas, kami juga teman Rohis satu liqo' tarbiyah masa itu. Meski belum berjilbab, Iyat termasuk anak yang rajin ikut ngaji juga alim, bahkan terkesan lebih beradab ketimbang sebagian teman yang sudah berjilbab. Ya, nggak bisa dihubungkan sesimpel itu juga sih ya, antara pakaian dan akhlak, Tapi memang orang suka menghubung-hubungkan dan menyimpulkan demikian. Hm... kembali lagi ke karakter masing-masing ya..., dan sepertinya memang Iyat punya tabiat yang santun.

Di kelas, kami duduk terpisah dan berjauhan. Saya duduk di bangku paling depan lajur kiri, sedang Iyat di ujung kanan cenderung di belakang. Meski berjauhan, saya lebih sering kemana-mana bersama Iyat ketimbang yang lain. Mungkin karena sesama pendiam, saya lebih mudah akrab dan tidak canggung padanya. Iyat yang baik hati dan sulit menolak permintaan, hampir selalu menurut jika saya minta ia menemani. 

Soal Iyat yang belum berjilbab, kami pernah membicarakannya dengan kakak senior di Rohis. Karena tanggung sebentar lagi akan lulus, Iyat mungkin sulit meminta dibelikan seragam baru yang menutup aurat, lagipula sepertinya ia berasal dari keluarga sederhana. Kakak senior berjanji akan mencarikan seragam bekas senior sebelumnya yang masih layak pakai. Yah, sayang sekali bukan, jika Iyat sebenarnya sudah mau berjilbab tapi belum ada pakaiannya. Dalam hati saya berharap semoga seragam untuk Iyat bisa segera kami dapatkan. Ia benar-benar anak yang baik, ramah, sopan, alim, rendah hati dan... ahh, hanya pakaian yang belum menutupi auratnya itulah satu-satunya cela yang kami lihat.

***

Rasanya sulit untuk percaya saat kami mendengar berita tentangnya. Iyat telah tiada. Setelah sakit beberapa hari, akhirnya Iyat menghembuskan nafas terakhirnya di atas pembaringan. Bersama teman-teman kelas dan teman Rohis, saya turut melayat ke rumahnya.

Sesampainya di rumah panggung Iyat yang sederhana, orang-orang sudah ramai berdatangan. Isak tangis terdengar dari dalam. Kami mendapati tubuh Iyat yang tertutup kain seluruhnya. Jasadnya yang kaku tengah berdiam di sana. Mata saya segera tertuju pada sosok wanita muda dengan mata basah di sisinya. Hari itu barulah saya tahu jika Iyat punya kakak mantan anak Rohis SMA juga. Sosoknya tampak tenang dengan balutan hijab yang sempurna di mata anak-anak Rohis waktu itu. Mungkin karena dia ikut ngaji juga, makanya tampak lebih tegar dari yang lain di saat kematian Iyat. Kakaknya terlihat santun, tindak-tanduknya terjaga, begitu sepadan dengan hijabnya yang rapi menutupi sekujur tubuhnya. Tapi begitu menyadari jika Iyat sendiri belum berjilbab di usianya yang sudah baligh, bahkan kini telah dipanggil kembali menemui Sang Khaliq, saya tiba-tiba sedih sekaligus kecewa, entah pada siapa.

Kamar tempat jasad Iyat disemayamkan menjadi sesak oleh kami, teman-teman kelasnya. Tangis tumpah dan isak bersahutan. Saya berdiri agak di belakang. Wati, teman sebangkunya menangis paling keras. 

"Saya sering memarahinya, saya sering menegurnya karena suaranya kecil hampir tak terdengar...," sesal Wati disela-sela tangisannya. Ah ya, Iyat memang bersuara kecil, lagi-lagi kami mirip. Sedang Wati seorang yang ekspresif dan bersuara besar, tapi ia sebetulnya baik. Mungkin hanya sering gemas jika Iyat bersuara lirih.

Kami larut dalam kesedihan, rasanya sulit menerima bahwa ini nyata. Iyat menutup mata di usia yang masih sangat muda. Di saat kami semua sedang bersemangat menyusun mimpi. Ujian akhir telah menanti dan kami telah bersiap untuk meneruskan cita-cita di bangku kuliah. Ah Iyat, dia begitu cerdas dan alim. Kami semua menyesali kepergiannya hari itu. Menyesali mengapa dia terlalu cepat pergi. Menyesali kesalahan-kesalahan yang mungkin pernah kami lakukan padanya. Tapi rasa-rasanya tak ada yang menyamai penyesalan saya atasnya. Iyat belum berjilbab ya Allah, anak sebaik dan sesopan itu..., bagaimana bisa tak mendapat kesempatan mengenakan hijab sebelum kematiannya...? gugatku dalam hati. 

Saya sedih atas kematiannya. Dan jauh lebih sedih atas kenyataan bahwa Iyat pergi sebelum sempat berhijab. Yah, butuh waktu lama bagi saya untuk bisa mencerna lalu menerima. Bahwa banyak hal yang tak sesuai keinginan, tidak mengikuti rencana. Hal-hal seperti itu yang disebut takdir, sesuatu yang berjalan atas kehendakNya dan tak bisa diubah. Maka tugas manusialah untuk berusaha semampunya, bukan sekadarnya. Wallahu a'lam bishshawab. 

#teman, semoga Allah menerima seluruh kebaikanmu, mengampuni kesalahan-kesalahanmu, aamiin.


   

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar