Cerita Anak Gunung

By Ummu Thufail - Januari 25, 2016



Masih hangat dalam ingatku kawan, kala itu, bergegas kita bangun di pagi yang dingin, membelah sunyi menyusuri jalan berumput yang masih basah oleh embun, membasuh tubuh kecil yang gigil dengan setimba air sumur atau limpahan sungai yang mengalir jernih.

Pagi selalu segar dan damai. Pada secangkir teh semangat itu dimulai, meski lain perkara..., jika kita sedikit abai mengerjakan PR atau tugas-tugas ekstrakurikuler dari guru yang kita hormati. Ah, tugas ekstrakurikuler, hanya aku yang menamainya begitu dan... ide itu baru kudapat kawan, bagaimana tidak, tugas yang kumaksud memang benar tak ada sangkut pautnya dengan kurikulum sekolah. Mengumpulkan seikat besar kayu bakar, kualitas terbaik bisa kita peroleh di tengah-tengah hutan, tak lupa melabelinya dengan sobekan kertas bertuliskan nama dan kelas. Mengingat ini rasanya kuingin meminta maaf pada ibu guru, kayu yang kutemukan kualitasnya rendah, hanya kayu lapuk yang kukumpulkan bersama seorang teman di pinggiran sungai.

Tugas lainnya? Terkadang kita berkebun, menanam padi, memanen hasil ladang.... Jika musim panen tiba, sekolah bisa diliburkan setengah hari dan beramai-ramai kita menuju kebun atau ladang bapak/ibu guru di lereng-lereng bebukitan, kita anak sekolahan atau petani, kawan...? Barangkali dua-duanya....

Kita anak gunung sebenarnya, bukan? Kita terlahir di sana, menjejaki tanah kali pertama, bersahabat debu dan terik matahari yang serasa membakar siang di ketinggian, bertumbuh diantara rindang pepohonan dan liar rerumputan.

Tak terasa, lalu tibalah itu semua disebut kenangan, terlipat oleh waktu yang menambatnya jauh di belakang. Sebagian kita lupa dan meninggalkan.Tapi bagiku kawan, ia selalu baru dalam ingatan.

#pujanggakecil

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar