Bahasa, Sastra dan Sumatera

By Ummu Thufail - Februari 18, 2015




Ketertarikanku pada bahasa, berawal dari sebuah gudang kantor yang penuh tumpukan, bermula dari buku-buku yang lebih banyak gambarnya daripada deretan kata. Sekedar ingin tahu, lama-lama semakin penasaran mencari tahu. Dan AHA! seperti kutemukan dunia baru yang penuh kejutan. Dunia yang menarikku berpetualang tanpa ujung, dengan imajinasi tak terbendung. 

Lalu aku mulai berpikir mengenai dimensi yang lebih mendalam: bahasa, sesuatu yang membingkai seluruh rangkaian kata, bentuk dan iramanya. Bagaimana ia bermula? Apa yang menjadi akarnya? Bagaimana waktu membuatnya benar-benar berbeda dari awalnya? Ah, ini hanya sekelebat tanya seorang belia kala ia mulai mencicipi dunia sastra. Keingintahuan yang terlalu besar saat itu membuatku pusing dikelilingi pertanyaan dan tak menemukan tempat untuk menimba jawaban. Jadilah si kecil ini, dengan insting detektif dadakan, sekenanya menghubung-hubungkan. Penemuannya itu menyimpulkan: ada hubungan yang erat antara Bahasa, Sastra dan Sumatera.

Bermula dari sebuah novel melayu klasik, otak remaja-ku tak bisa segera mengakrabinya. Apakah ini karya zaman baheula yang begitu sulit mencernanya? Didera penasaran dan tak mau segera angkat tangan hanya karena barisan katanya yang begitu sulit kuartikan, kuteruskan membaca hingga menjelang pertengahan baru mulai bisa menikmatinya. Saat itu aku yakin, ini adalah awal aku berkenalan dengan dunia yang sangat nyastra. Cukup menyiksa di awalnya.

Dari situ aku mulai mereka-reka lalu menyimpulkan sendiri, Sumatera begitu dekat dengan Sastra. Mungkin begitulah adanya, karena Melayu yang jadi rumpunnya, asal mula akar bahasa Indonesia. Sekalipun tak menampik, bahwa sastrawan atau pujangga datangnya bisa dari mana saja di belantara Indonesia. Tapi lihatlah, bagaimana nyastra-nya bahasa mereka. Menyusun pantun bisa membuat pening sebagian orang sepertiku, yang berasal dari timur Indonesia, tapi bagi mereka serupa sarapan pagi atau makan malam yang rutin dikunyah. 

Subyektif dan masih dangkal memang, karena ini diulas dari sisi penikmat sastra belia kala itu. 

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar